Virus Corona
Cerita Pemudik yang Nekat Pulang karena Tak Punya Uang untuk Hidup: Mending Saya Mati di Kampung
Tak sedikit pemudik yang nekat pulang saat pelaksanaan aturan larangan mudik selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) wabah Virus Corona.
TRIBUNPAPUA.COM - Tak sedikit pemudik yang nekat pulang saat pelaksanaan aturan larangan mudik selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) wabah Virus Corona.
Satu di antaranya Agung (28) pengendara motor yang hendak mudik ke wilayah Pemalang, Jawa Tengah.
"Kalau kita di sini dikasih makan engga, kalau ada yang jamin kasih makan nggak apa apa, kita mati di sini siapa yang tanggungjawab," ucap Agung.
Usahanya untuk mudik diberhentikan di Pos Penyekatan di Jalan Sultan Agung, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, pada Selasa (28/4/2020).
Sudah 12 hari Agung hanya berdiam diri di kosannya daerah Cikokol, Kota Tanggerang usai diberhentikan kerja.
• Viral Video Pasien Covid-19 Kabur Lewat Jendela RS, Pihak RS: Pasien Mencurigakan, Kita Cek CCTV
Agung tak sendiri, ia bersama temannya yang masih satu kampung bernama Samtirawan (29) terpaksa mudik karena sudah tak ada lagi uang untuk bisa bertahan hidup di daerah perantauannya itu di Tanggerang.
Upayanya kandas di titik penyekatan di Jalan Sultan Agung, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi.
Agung ketika itu nampak kesal karena tetap diminta putar balik, padahal sudah menjelaskan keadaan pahit tersebut.
"Engga ada yang jamin, engga ada yang kasih kejelasan, mending saya mati di kampung dari pada mati di sini, engga ada siapa-siapa saudara," ungkap Agung yang terlihat lesu.
Tidak ada saudara di lokasi tinggal di Tanggerang, ia hanya tinggal berdua bersama teman yang berprofesi ojek online itu dalam satu kosan.
"Kita perantau, engga ada saudara. Sedih mau ngapain di sini, engga ada kerjaan engga ada uang. Bayar kosan juga dari mana," kata Agung.
• Kata Ustaz Abdul Somad soal Jamaah Nekat ke Masjid saat Wabah Corona: Mereka Sulit, Dibantu Masjid
Untuk mudik menggunakan sepeda motor bersama temannya, Agung hanya berbekal sisa uang gaji terakhir sebesar Rp 300 ribu.
Uang itu hanya cukup untuk membeli bensi dan makan selama diperjalanan.
"Teman saya ojol sudah engga punya duit, andalin saya buat makan sama bayar kosan. Maka itu pilih pulang kampung, di sini juga biaya hidup mahal. Di kampung makan apa juga jadi dan engga perlu bayar kosan," jelas Agung sambil membuka helmnya.
Keduanya kepada kepolisian yang berjaga di pos itu terus memohon agar diizinkan melintasi jalan tersebut.
Keduanya mengungkapkan telah lapor ke aparat kelurahan setempat dan siap di karantina ketika sampai kampung halaman.
"Saya tolonglah, kami siap di karantina 14 hari saat sampai di sana. Dari pada bertahan di sini, engga ada uang. Engga bisa makan, nanti mati kelaparan,"tutur dia.
Tak jauh berbeda nasibnya dengan Agung, Samtirawan (29) juga terdampak Covid-19.
Ia yang bekerja sebagai ojek online, penghasilannya menurun drastis.
Apalagi semenjak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Andalin antar barang dan pesan makanan susah juga. Kan banyak juga rebutan sama rekan ojol lain, biar tenang saya mau di kampung aja dulu sampai kondisinya kondusif corona hilang," tuturnya.
Dirinya yang satu kosan dengan Agung, tak enak hati jika harus mengandalkan sisa gaji temannya itu yang telah diberhentikan kerja.
• Ini Syarat Penerima Bantuan Langsung Tunai Rp 600.000 dari Pemerintah di Tengah Pandemi Corona
Uang dari hasil ambil orderan tak mencukupi buat makan dan kebutuhan lainnya.
"Semenjak begini pemasukan sedikit, sudah ditahanin berapa hari tetap aja engga cukup. Kita kan bayar kontrakan kosan, itu teman yang bayar tapi dia kan sudah engga kerja," kata dia.
Dirinya yang identitas KTP masih daerah asalnya di Pemalang, Jawa Tengah mengaku tak tersentuh bantuan sosial pemerintah setempat.
Padahal, kondisinya sangat membutuhkan.
“Belum ada bantuan yang datang ke saya dari awal diterapkan PSBB di Tanggerang sampai sekarang. Karena bukan warga Tanggerang kayaknya," imbuh dia.
Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi untuk tetap tinggal di Tanggerang.
Maka itu ia memilih mudik ke kampung halamannya, masih ada keluarga yang membantu dan memperhatikan
“Mendingan saya memilih mudik ke kampung halaman, dari pada di Tanggerang luntang-lantung dan malah berbuat kriminal,” tutupnya.
Masa pandemi Corona atau Covid-19 menjadi yang tersulit bagi warga, banyak yang diberhentikan kerja maupun pekerja harian lepas yang sudah tak bisa memiliki penghasilan karena banyak aktifitas yang dibatasi.
• Tak Ingin Terlalu Dini Simpulkan Puncak Wabah Corona di Indonesia, Achmad Yurianto Ungkap Alasannya
Oleh karena itu, larangan mudik yang resmi berlaku 24 April 2020 lalu membuat sejumlah warga masih berupaya mudik lantaran tidak lagi memiliki pekerjaan dan uang di perantauan.
Seperti Agung (28) dan Samtirawan (29) yang tak lagi mampu bertahan hidup di kota rantauannya di Tanggerang karena tak ada pekerjaan dan uang.
Kedunya hendak mudik ke Pemalang, Jawa Tengah namun, kandas ditengah jalan usai dipaksa putar balik di Pos Penyekatan perbatasan DKI Jakarta dan Kota Bekasi.
(WartaKotaLive.com/ Muhammad Azzam)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Lebih Baik Mati di Kampung daripada di Sini Nggak Ada Saudara, Demikiah Kisah Para Pemudik Nekat