Sejarah PKI
Kisah Orang-orang Buangan Pasca-tragedi September 1965
Mahasiswa program ikatan dinas pengiriman era Soekarno paruh 1961-1965 awal, seperti Soesilo Toer, mengalami tragedi kemanusian yang sangat tragis.
Saat saya mengunjungi Soesilo Toer beberapa tahun lalu – dan kembali saya cross check ke mahasiswa saya yang menjadi wartawan lokal di Blora sebelum tulisan kolom ini saya buat – Soesilo sampai sekarang masih melakoni pekerjaan rutinnya: memulung sampah.
Sampah yang diperolehnya dipilah-pilah. Ada yang laku dijual dan ada yang untuk pakan ternaknya.
Selain kambing, penulis 20 buku ini juga memelihara ayam di pekarangan rumah.
Baca juga: Mengapa Soeharto Tak Ikut Diculik dan Dibunuh Saat G30S PKI?
Dari sampah yang dikumpulkannya itu, Soesilo mendapat penghasilan Rp 600 ribu saban bulannya.
Menempati rumah kuno di Jalan Sumbawa Nomor 40 Jetis, Blora, Jawa Tengah, peninggalan Mastoer – Siti Saidah, orang tuanya itu, Soesilo mendirikan Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa atau PATABA.
Ia memiliki koleksi 5 ribu judul buku. Ia ingin penikmat buku bisa meresapi gagasan-gagasan Pramoedya Ananta Toer.
Buku-buku Pramoedya yang yang kesohor hingga mancanegara antara lain Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu.
Kisah Genong Karsono
Setiap September saya selalu teringat mendiang Genong Karsono, pensiunan juru masak penjara di Berlin, Jerman.
Ia adalah aktivis Pemuda Rakyat, organisasi mantel atau onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI).
Empat tahun sebelum Tragedi 1965 pecah, usai menyelesaikan sarjana ekonominya di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti, Jakarta) Genong mendapat beasiswa pascasarjana di Uni Soviet.
Istrinya tidak ikut pergi ke Soviet. Ketika Peristiwa 1965 meletus dan merembet ke berbagai daerah, istrinya di Tanah Air terbunuh karena dianggap simpatisan PKI.
Ayah Genong dan Kakak Genong, Kartina Kurdi, dibekuk aparat. Ayah Genong adalah aktivis PKI yang punya kelompok kesenian ketoprak.
Sementara, Kartina Kurdi adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), onderbow PKI yang luas jaringannya di kalangan perempuan.
Pasca Peristiwa 1965, polarisasi mulai terjadi dalam komunitas aktivis anti Orde Baru yang mukim di Uni Soviet.