Info Jayapura
6 Kampung di Jayapura Tolak Kampung Adat, Daniel Toto: Tidak Mewakili Masyarakat Keseluruhan
Aksi penolakan Kampung Adat oleh enam kampung di Kabupaten Jayapura dianggap tidak mewakili masyarakat secara keseluruhan.
Penulis: Calvin Louis Erari | Editor: Paul Manahara Tambunan
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Calvin Louis Erari
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Aksi penolakan Kampung Adat oleh enam kampung di Kabupaten Jayapura dianggap tidak mewakili masyarakat secara keseluruhan.
Aksi yang digelar di halaman Kantor DPRD Kabupaten Jayapura pada Selasa (24/1/2023) itu juga dinilai tidak etis.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Wilayah Tabi, Daniel Toto di Sentani, Jumat (27/1/2023).
"Enam kampung yang datang demo kemarin itu belum tentu mewakili seluruh kampung adat yang lain, dan saya rasa itu tidak etis," ujar Daniel kepada Tribun-Papua.com.
Menurut Daniel, berbicara soal kampung adat sama saja bicara tentang harga diri sendiri.
"Kenapa, karena dengan Kampung adat, kita dapat mengembalikan hak-hak kesulungan yang selama ini hilang," katanya.
Baca juga: Soal Aksi Penolakan Kampung Adat, Ketua DAS Sentani Geram
Daniel memandang aksi penolakan karena warga dari 6 kampung adat ingin pemerintahan kampung tetap berjalan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1979 tentang Desa.
"Tetapi faktanya, UU nomor 6 tahun 2014, Pasal 100 memberikan ruang, dan itu menjadi dasar adanya kampung adat," jelasnya.
Selain itu, adanya 14 Kampung adat di Kabupaten Jayapura juga karena inisiatif pemerintah adat, bukan pemerintah.
"Ini terjadi setelah kebangkitan masyarakat adat Kabupaten Jayapura pada 24 Oktober 2013, dan itu merupakan satu gerakan masyarakat adat itu sudah ada sebelum negara," ujarnya.
Sebelumnya, aksi penolakan kampung adat terjadi pada Selasa (24/1/2023).
Massa yang tergabung dari Kampung Yokiwa, Babrongko, Simporo, Ayapo, Ifar Besar dan Yoboi, meminta agar DPRD mencabut status kampung adat dan kembalikan ke kampung pemerintah.
Selain itu, massa juga mengeluarkan pernyataan sikap dan dalam pernyataan itu terdapat 15 poin, yakni:
1. Menolak Kampung adat.
2. Meminta Pemkab Jayapura segera kembalikan kampung adat menjadi status demokrasi.
3. Lumpuhnya pelayanan dalam semua aspek, Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan Budaya.
4. Hilangnya hak-hak masyarakat ekonomi lemah.
5. Tertutupnya ruang demokrasi.
6. Terjadi gaya kepemimpinan otoriter.
7. Tidak adanya transparansi penggunaan dana kampung, Alokasi Dana Desa (ADD), Alokasi Dana Kampung (ADK) dan lain sebagainya.
8. Kurangnya keterbukaan informasi tentang penggunaan dana kampung, karena kepala kampung adat adalah Ondofolo.
9. Terciptanya konflik sesama masyarakat adat.
10. Pj Bupati Jayapura dan Ketua DPRD Tolong memperhatikan aspirasi penolakan tersebut.
Baca juga: Kantor DPRD Jayapura Digeruduk, Massa Teriak Keras: Tolak Kampung Adat!
11. Meminta Pj bupati Jayapura, segera menggantikan kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) dan menghapus instansi bagian pemerintahan Kampung adat.
12. Meminta ketua dan anggota DPRD Jayapura agar mencabut Peraturan daerah (Perda) nomor 1 tahun 2022 tentang Kampung adat.
13. Meminta kepada Ketua DPRD Jayapura untuk segera membentuk Panitia khusus (Pansus) dan bersama inspektorat Kabupaten Jayapura untuk turun ke 14 kampung adat untuk mendengar aspirasi masyarakat serta mengaudit keuangan kampung adat selama dua tahun kebelakang.
14. Seluruh kepala distrik di Kabupaten Jayapura tempat berada di 14 Kampung adat agar segera diganti.
15. Meminta Pj Bupati Jayapura memerintahkan kepala distrik untuk membentuk panitia pemilihan kepala kampung di wilayah Kampung adat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.