Sosok
Kisah Rochy Putiray, Anak Maluku yang Membumi di Negeri Hong Kong: Pernah Tundukkan AC Milan
Rochy Putiray sempat mencuri perhatian publik usai mengungkap kasus pengaturan skor di Liga Indonesia pada 2018. Ia membongkar kasus mafia bola.
Penulis: Paul Manahara Tambunan | Editor: Paul Manahara Tambunan
Rochy Putiray memang nyentrik dan 'gila', tetapi seimbang dengan prestasi yang ditorehkannya.
Namanya cukup familiar bagi pencinta sepak bola Hongkong. Ia pun cukup dihormati di sana.
Pria berdarah Maluku itu pernah membela Timnas Indonesia di era 2000-an.
Namanya sempat mencuri perhatian publik usai mengungkap kasus pengaturan skor di Liga Indonesia pada 2018.
Bagaimana tidak, Rochy mengaku sempat ditawari untuk terlibat 'main sabun' oleh oknum mafia bola yang mengiming-iminginya uang puluhan juta rupiah.
Itu terjadi di awal Liga Indonesia tahun 2000-an.
Ia juga membaca pergerakan mafia bola di tubuh Liga Indonesia.
Terbukti, pembacaannya soal Persija Jakarta akan menjadi juara Liga pada musim 2018 benra-benar nyata.
Terkait ini, Ia berani bertaruh sejak liga digulirkan. Persija pun mampu meraih gelar juara di akhir musim.
Baca juga: Boaz Solossa dan Papua, Belajar Mencintai Indonesia Sampai Mampus
Pernyataan Rochi soal pengaturan skor mendapat tekanan dari sejumlah pihak, meski kala itu masalah pengaturan skor di Tanah Air bukan rahasia lagi.
Kasus jual-beli pertandingan bukanlah hal yang mengagetkan mengingat banyaknya pertandingan aneh terjadi di Indonesia setiap musimnya.
Bisa dibilang, Rochy Putiray melampaui masanya. Ia adalah sosok penyerang ganas yang pernah dimiliki Indonesia.
Bila mendengar nama Rochy, tentu paling diingat dari sosok ini adalah dua golnya ke gawang AC Milan yang dikawal Christian Abbiati pada 2004.
Kala itu Rochy membela Kitchee SC, klub Liga Hong Kong.
Ya, Rochy dan kolega mampu mempermalukan Milan yang pada masa itu menjadi salah satu tim terbaik di Eropa.
AC Milan dipaksa menundukkan kepala di hadapan publik Hong Kong.
Ini menjadi sejarah bagi karier Rochy Putiray.
Mantan pemain Arseto Solo itu tak hanya membuat sebuah fenomena.
Rochy Putiray dikenal sebagai salah satu pemain paling nyentrik di Indonesia karena gemar mencuri perhatian publik.
Ia gemar gonta-ganti warna rambut, memakai sepatu yang berbeda warna, menggunakan jersey lengan panjang namun hanya sebelah.
Bahkan, ia juga melakukan selebrasi dengan jungkir balik dan selebrasi-selebrasi ekspresif lainnya.
Meski begitu, sikap caper Rochy berjalan lurus dengan prestasinya sebagai pesepak bola.
Malah kegilaan yang Rochy bangun menjadi identitas baginya.
Dalam wawancaranya dengan beberapa media nasional, penampilan nyentrik yang ia tunjukkan merupakan pemantik dan motivasi kala bertanding.
Keganasan Rochy sebagai penyerang tak dapat dipertanyakan.
Ia sudah membuktikannya, ketajaman mantan pemain kelahiran 1970 ini diakui bukan hanya di Indonesia namun juga di Hong Kong.
Nama Rochy Putiray cukup harum di sana karena di awal tahun 2000-an ia menjadi penyerang andalan beberapa klub Liga Hong Kong.
Puncaknya ketika ia berhasil membobol gawang AC Milan kala membela Kitchee SC pada 2004.
Prestasi Rochy selama di Hong Kong juga tak dapat dipandang sebelah mata.
Ia mampu membawa timnya menjadi runner-up Liga Hong Kong sekaligus menjadi topskor liga kala membela Instant-Dict FC pada tahun 2000 dengan torehan 20 gol.
Rochy Putiray yang lahir dari keluarga pesepak bola mampu membuktikan dengan fisiknya yang kecil, ia tetap mampu mengeluarkan potensi tersbesar dalam dirinya.
Jejak karier si nyentrik berdarah Maluku
Rochy Putiray lahir di Ambon, Maluku, 26 Juni 1970. Kini, ia berusia 53 tahun.
Ia terbilang sukses sepanjang berkarier di lapangan hijau.
Rochi memulai karier sepak bolanya justru bukan di tanah kelahirannya, melainkan di pulau Jawa.
Karier profesionalnya ia mulai dengan membela klub kota Bengawan, Arseto Solo. Bersama klub milik Keluarga Cendana inilah ia melambung.
Sebelas tahun bersama tim yang bermarkas di stadion Sriwedari itu, Rochi bermain sebanyak 219 pertandingan mencetak 180 gol.
Puncak karier Rochy bersama Arseto Solo terjadi kala tim kepunyaan Sigit Harjoyudanto ini menjadi juara Galatama tahun 1992.

Sayang, pada 1998 Arseto Solo membubarkan diri akibat dampak dari Reformasi Republik Indonesia yang membuat sosok nyentrik ini harus meninggalkan kota Solo.
Setelah memutuskan bergabung dengan klub ibu kota, Persija Jakarta, pada tahun 2000, Rochy menerima pinangan dari klub Hong Kong Instant-Dict FC.
Di sanalah ia mulai digandrungi warga Hong Kong karena bersama tim tersebut ia mampu membawa tim tersebut runner-up Liga Hong Kong dan menjadikan dirinya topskor di musim tersebut dengan 20 gol.
Selanjutnya, penyerang mungil ini bergabung klub Hong Kong lainnya, Happy Valley.
Baca juga: Yan Mandenas, Pembuktian Arsitek Sepak Bola dari Tanah Papua
Walau mampu membawa finis di posisi kedua, secara individu karier Rochi bersama tim tersebut tak begitu mulus yang membuatnya harus pulang ke Indonesia bersama PSM Makassar.
Namun, penampilan Rochy bersama PSM juga tak kunjung membaik yang membuat namanya mulai tenggelam.
Setelah kegagalannya bersama Tim Juku Eja, Rochy memutuskan kembali ke Hong Kong, bermain bersama South China sebelum memutuskan untuk bergabung dengan tim papan atas Liga Hong Kong, Kitchee SC.
Di usia yang sudah senior, Rochy membuktikan bahwa dirinya belum usai.
Bersama Kitchee SC lah kariernya menapaki titik tertinggi dalam karier sepak bolanya.
Bersama tim inilah cerita Rochy membobol gawang AC Milan bermula dan menjadi dongeng yang selalu diceritakan banyak orang di Indonesia, terlebih Maluku tanah kelahirannya.
Dua tahun bersama Kitchee SC ia lalui, The Bluewaves bahkan menjadi klub terakhir asal Hong Kong yang dibela olehnya.
Bersama Kitchee ia mampu mencetak 15 gol dari 25 pertandingan yang ia jalani.
Rochy sempat membela PSPS Pekanbaru sebelum menuntaskan karier fenomenalnya bersama PSS Sleman pada 2007 di usia 37 tahun.
Bersama tim kebanggan warga Sleman ini Rochy memutuskan gantung sepatu.
Di level timnas, penyerang mungil ini juga memiliki kisah yang tak kalah hebatnya.
Rochi tampil di 41 pertandingan dengan mencetak 17 gol selama bersama Timnas Indonesia.
Ia ikut membawa Skuad Garuda saat meraih medali emas pada SEA Games 1991.
Kisah Rochy Putiray menandakan bahwa Indonesia sebenarnya tak pernah kehilangan bakat, terlebih Maluku.
Berbagai nama mulai dari pemain bermarga Lestaluhu seperti Ramdani Lestaluhu dan Abduh Lestaluhu, Manahati Lestusen, Rifad Marasabessy dan lain-lain.
Hampir semuanya berani merantau ke berbagai klub di Indonesia, meski belum ada yang segila Rochy.
Rochy membuktikan bahwa potensi pemain asal Timur Indonesia, terutama Maluku, tak boleh dipandang sebelah mata. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.