ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Opini

Komite Eksekutif Otsus Papua, Mensejahterakan Rakyat atau Hanya Menenangkan Elite Daerah?

Rakyat di Tanah Papua tidak sedang meminta belas kasihan, tetapi sedang menagih janji keadilan.

Tribunnews/Irwan Rismawan
ILUSTRASI - Sejumlah mahasiswa dari Aliansi Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019). Aksi tersebut sebagai bentuk kecaman atas insiden di Surabaya dan menegaskan masyarakat Papua merupakan manusia yang merdeka. 

Koordinasi antarkementerian lemah, tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah daerah, dan terbatasnya akses ke daerah pedalaman membuat hasilnya tidak sebanding dengan ekspektasi. 

Banyak program berhenti di atas kertas. Meski begitu, SBY tetap dikenang sebagai presiden pertama yang secara eksplisit menempatkan Papua sebagai prioritas pembangunan nasional melalui lembaga lintas kementerian.

Dua dekade setelah Otsus pertama lahir, Joko Widodo memperbarui kebijakan ini dengan memperpanjang dan menata ulang sistemnya.

Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua atau Otsus Jilid II, pemerintah memperbaiki tata kelola dana dan memperluas jangkauan program.

Untuk memperkuat pelaksanaannya, dibentuklah Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang diketuai Wakil Presiden dan beranggotakan para menteri serta enam perwakilan dari setiap provinsi di Tanah Papua.

BP3OKP diberi mandat untuk menyusun arah kebijakan lintas sektor dan mengawal Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua 2022-2041 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2023.

Secara kelembagaan, BP3OKP tampak megah dengan rencana kerja jangka panjang dan koordinasi lintas kementerian.

Namun di lapangan, problem lama masih membayangi: birokrasi berlapis, koordinasi lambat, dan minimnya partisipasi masyarakat lokal. Dana terus mengalir, proyek bertambah, tetapi jurang kesejahteraan tetap lebar. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), tingkat kemiskinan nasional pada Maret 2025 tercatat 8,47 persen, sedangkan di Tanah Papua jauh lebih tinggi—Papua Pegunungan 30,03 persen, Papua Tengah 28,9 persen, Papua Barat 20,66 persen, Papua Selatan 19,71 persen, Papua 19,16 persen, dan Papua Barat Daya 17,95 persen.

Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2024. IPM nasional mencapai 74,2.

Sementara Papua Pegunungan hanya 53,42, Papua Tengah 59,75, Papua Barat 67,02, Papua Barat Daya 68,63, Papua Selatan 72,30, dan Papua 73,00. 

Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perbaikan dibanding dua dekade lalu, kebijakan percepatan belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan yang merata.

Papua tetap menempati posisi terbawah dalam hampir semua indikator pembangunan manusia di Indonesia.

Kini di masa Presiden Prabowo Subianto, sejarah kebijakan itu berlanjut dengan wajah baru. 

Pada Oktober 2025, Presiden melantik Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua melalui Keputusan Presiden Nomor 110/P Tahun 2025.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved