Revisi UU KPK
Respons Agus Rahardjo soal UU KPK Hasil Revisi Mulai Berlaku Besok, Memohon Jokowi Terbitkan Perppu
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah pasrah dengan akan berlakunya UU KPK hasil revisi.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNPAPUA.COM, JAKARTA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah pasrah dengan akan berlakunya UU KPK hasil revisi.
Meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum meneken UU KPK hasil revisi tersebut, tetapi berdasarkan aturan terhitung 30 hari setelah disahkan DPR, UU baru akan berlaku.
UU KPK hasil revisi akan mulai berlaku Kamis (17/10/2019).
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pihaknya akan tetap mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
"Ya menunggu beliau (Jokowi) dilantik, setelah dilantik kita mohon lagi (terbitkan Perppu)," ujar Agus Rahardjo ketika dikonfirmasi wartawan, Rabu (16/10/2019).
Meskipun Presiden Jokowi tidak mengindahkan desakkan dari masyarakat yang meminta diterbitkannya Perppu, pimpinan KPK memastikan tetap meminta Jokowi mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang dinilai bermasalah.
"Ya kita tunggu setelah dilantik, beliau pendapatnya apa?" kata Agus.
• Sekjen PPP Beri Usul Ini ke Jokowi demi Selesaikan Polemik UU KPK, tapi Bukan Perppu
KPK tancap gas
Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) memastikan pihaknya akan bekerja maksimal di hari terakhir berlakunya Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Alasannya, UU KPK hasil revisi akan berlaku pada Kamis (17/10/2019) besok.
UU tersebut otomatis berlaku 30 hari setelah disahkan DPR pada 17 September 2019, meski Presiden Jokowi tidak menandatanganinya.
Hal itu sesuai aturan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Kami akan sangat giat bekerja hari ini, rajin, dan menunjukkan ke masyarakat bahwa UU nomor 30 tahun 2002 sudah ideal. Artinya sebenarnya tidak perlu upaya-upaya pelemahan terhadap UU KPK," ujar Ketua WP KPK Yudi Purnomo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Yudi menegaskan, UU KPK sudah ideal sehingga tidak perlu ada upaya pelemahan lewat revisi UU.
Apalagi, kata dia, revisi UU tidak melibatkan KPK sebagai pelaksana UU yang mengetahui teknis penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
• UU KPK Hasil Revisi Segera Berlaku, Apa Kabar Perppu?
"Tentu teman-teman memahami bahwa nanti malam begitu hari berganti, kewenangan KPK yang dipreteli lewat revisi UU KPK akan berlangsung. Artinya bahwa segala tindakan dari penyelidik, penyidik dan penuntut umum di KPK harus berdasarkan UU baru," ujar dia.
Yudi kembali menyebutkan 26 poin dalam UU KPK baru yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
"Karena belum ada peraturan di bawahnya, implementasi teknisnya, karena semuanya akan berubah, mungkin lebih dari 50 persen peraturan internal KPK bisa berubah," katanya.
Di sisi lain, Yudi melanjutkan, dalam dua hari terakhir ini, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak tiga kali.
Menurutnya hal itu sebagai fenomena para koruptor berpesta dengan segera berlakunya UU KPK baru.
"Artinya koruptor di luar sana bisa membaca KPK akan dilemahkan sehingga mereka melihat ini detik terakhir KPK," kata Yudi.
Untuk itu, Yudi meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi guna menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.
"Itulah sebabnya kami meminta kepada bapak presiden agar pemberantasan korupsi tetap lanjut, tidak dikebiri, tidak diamputasi, Perppu merupakan jalan agar KPK bisa tetap memberantas korupsi. Jika perppu tak keluar, tentu saja yang paling diuntungkan dari situasi yang tidak mengenakan ini koruptor," ujar Yudi.
• Minta Jokowi Terbitkan Perppu Batalkan UU KPK, Franz Magnis: Saya Harap Presiden Punya Keberanian
Masih efektif berantas korupsi
Wadah Pegawai (WP) KPK menilai UU Nomor 30 Tahun 2002 masih sangat efektif untuk memberantas korupsi.
Terlebih, KPK belum lama ini melakukan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat kepala daerah.
"Hal ini menandakan bahwa UU Nomor 30 Tahun 2002 masih sangat efektif untuk memberantas korupsi tanpa perlu direvisi," ujar Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap kepada wartawan, Selasa (15/10/2019).
Saat ini, sejumlah akademisi dari berbagai penjuru Indonesia juga menggulirkan gerakan pita hitam.
Cara ini sebagai solidaritas terhadap lima korban yang meninggal pada saat menolak berbagai legislasi bermasalah dalam gerakan #reformasidikorupsi termasuk revisi UU KPK yang dianggap bukannya memperkuat, malah memperlemah.
Seperti diketahui, sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundangan, revisi UU KPK akan berlaku secara otomatis dalam waktu 30 hari atau pada 17 Oktober 2019, meskipun tidak disetujui dan ditandatangani Presiden Jokowi.
• Jokowi Tak Cabut UU KPK tapi RUU Lain Ditunda, ICW Pertanyakan Sikap sang Presiden
"Sehingga dalam 2 hari ke depan, KPK akan beroperasi dengan UU yang melemahkan KPK di mana tercatat ada 26 poin yang akan melemahkan KPK," kata Yudi.
Hal tersebut, sambung dia, tentu saja akan memunculkan berbagai kendala dan menyebabkan KPK tak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya untuk memberantas korupsi sesuai keinginan rakyat Indonesia, seperti cita-cita reformasi 1998.
"Bahwa solusi paling efektif, cepat dan efisien saat ini, yaitu Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan Revisi UU KPK secara keseluruhan," ujarnya.
Untuk diketahui, pada Senin (14/10/2019) dini hari tadi, tim penindakan KPK kembali melakukan serangkaian operasi tangkap tangan.
Kali ini, Bupati Indramayu, Supendi dan sejumlah pihak yang diamankan terkait kasus suap proyek di kabupaten setempat.
• Presiden Tolak Cabut UU KPK, ICW Sebut Janji Jokowi Selama Ini Hanya Halusinasi
Terburu-buru
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut kesalahan penulisan atau typo dalam UU KPK hasil revisi terjadi lantaran dibuat dengan terburu-buru dan sangat tertutup.
"Karena itu, kami sekarang bertanya lagi apakah sekarang perbaikan 'typo' itu harus membutuhkan persetujuan antara parlemen dan pemerintah kembali. Apakah parlemen yang sekarang terikat dengan kesalahan yang dibuat sebelumnya sehingga ini semua membuat ketidakjelasan dan kerancuan," kata Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Menurut Laode M Syarif akibat kesalahan ketik dalam UU KPK hasil revisi menyebabkan KPK sangat ragu menjalankan UU tersebut.
"Itulah sebenarnya yang mengakibatkan KPK sangat ragu bagaimana mau menjalankan tugasnya, sedangkan dasar hukumnya sendiri banyak sekali kesalahan-kesalahan dan kesalahannya itu bukan kesalahan minor. Ini kesalahan-kesalahan fatal," ujar Laode M Syarif.
• Tolak Tuntutan Mahasiswa, Jokowi Pastikan Tak akan Terbitkan Perppu untuk Cabut UU KPK
Seharusnya, menurut Laode M Syarif, proses pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat bisa memberikan masukan.
"Kami sih berharap ada proses yang terbuka, ada proses yang tidak ditutupi sehingga masyarakat itu bisa paham. KPK juga bisa paham, bisa mempersiapkan diri bagaimana untuk memberikan masukan," kata Laoden M Syarif.
Dia mencontohkan, KPK tidak alergi dengan dibentuknya dewan pengawas hasil revisi UU KPK tersebut.
Hanya saja, ia berharap agar dewan pengawas yang dimaksud bisa menjalankan tugas sebagaimana fungsinya.
"Fungsi dewan pengawasnya ya sebagai dewan pengawas, bukan sebagai bagian dari yang harus menyetujui, menandatangani. (Kalau begitu), itu bukan mengawasi. Nanti orang bertanya lagi, nanti yang mengawasi dewan pengawas ini siapa," ujar Laode M Syarif.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul UU KPK Hasil Revisi Mulai Berlaku Besok, Ini Respons Agus Rahardjo