ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

G30S PKI

Mayjen DI Panjaitan, Putra Batak Pendiri TKR dan Jenderal Berprestasi Dibunuh PKI

Kebiadaban PKI terhadap sang Jenderal diungkap Catherine Panjaitan, anak sulung Jenderal DI Panjaitan yang menyaksikan peristiwa tragis kala itu.

Tribun-Papua.com/Istimewa
Kisah Mayjen DI Panjaitan (Kolase Foto: Dok. Keluarga Pandjaitan/dipandjaitan.blogspot.com) 

TRIBUN-PAPUA.COM -  Kisah Mayjen TNI DI Panjaitan yang dibunuh pasukan PKI (Anggota Resimen Cakrabirawa) saat menyambangi rumah sang jenderal pada 1 Oktober 1965, subuh pagi.

Sosok jenderal DI Panjaitan ternyata sempat berusaha ditolong oleh keluarganya.

Kebiadaban PKI terhadap sang Jenderal diungkap Catherine Panjaitan, anak sulung Jenderal DI Panjaitan yang menyaksikan peristiwa tragis kala itu.

Tragedi atau peristiwa Gerakan 30 September atau G30S diperingati Indonesia pada Senin (30/9/2019).

Peristiwa G30S diketahui terjadi pada 30 September sampai di awal 1 Oktober di tahun 1965.

Ada sejumlah jenderal yang menjadi korban dalam peristiwa G30S, satu di antaranya Donald Isaac Panjaitan atau kerap disapa DI Panjaitan.

Baca juga: Kesaksian Peneliti dan Dua Algojo 1965: Dicap PKI dan Disiksa

DI Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun.

Sang putri, Catherine Panjaitan mengungkapkan kesaksiannya ketika peristiwa terjadi, dikutip TribunWow.com dari kanal YouTube iNews Talkshow & Magazine pada Selasa (25/9/2018).

Catherine mulanya mengatakan para pasukan pembelot datang ke rumahnya dengan mengepung seluruh sisi rumah pada pukul 04.00 WIB pagi, 1 Oktober 1965.

Catherine mulanya mengatakan para pasukan pembelot datang ke rumahnya dengan mengepung seluruh sisi rumah pada pukul 04.00 WIB pagi, 1 Oktober 1965.

"Nah ayah saya 55 menit, jadi mereka mendapatkan ayah saya.

"Nah terus mula-mula mereka datang dikepung, (rumah) oleh massa ya," ujarnya.

"Di depan berapa truk, di belakang juga beberapa truk. Dan kita terbangun oleh ribut mereka.

Baca juga: Menakar Dalang G30S: Peran PKI, Konflik Internal AD, CIA hingga Soeharto

"Datang 'druk-druk' (suara sepatu) boots dan mereka teriak-teriak 'Bapak jenderal-bapak jenderal'. Nah kita bangun, siapa?," paparnya.

Saat itu, dirinya bersama ibu dan DI Panjaitan berada di lantai atas.

Dan saat itu keluarganya menghalau untuk pasukan pembelot bertemu DI Panjaitan.

"Di bawah terjadi perlawanan oleh sepupu saya dan om saya, ada tiga orang laki-laki.

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur DOK. (Shutterstock)
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur DOK. (Shutterstock) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

"Ya karena enggak puas mereka lasung tembak, jadi dua orang kena.

"Sambil sepupu saya teriak, orang Batak itu bilang Om, Tulang 'Tulang, tulang jangan turun'," ujarnya menceritakan kembali.

Lantas para pasukan pembelot menanyakan kepada pembantunya dan mengetahui di mana DI Panjaitan berada.

"Nah kita kan enggak ngerti ya, akhirnya mereka masuk, pembantu ditanya 'Ndoromu mana?' terus kasih tunjuk, beliau atas," ungkapnya menirukan percakapan keduanya.

Baca juga: Cakrabirawa Berkhianat Demi G30S PKI, Dapat Misi dari Soeharto

Saat itu ia berkisah, dirinya tak bisa meminta bantuan karena telepon pada jaman dahulu yang berbentuk paralel dipotong kabelnya dari lantai bawah.

"Akhirnya kita sibuk telepon, tapi dulu kan paralel, kita di atas, yang di bawah mereka gunting jadi enggak bisa cari bantuan."

"Akhirnya mereka di tangga teriak 'Bapak jenderal, bapak jenderal' panggil ayah saya. Terus ayah saya sedang sibuk ngokang-ngokang (senjata)."

Panggilan pasukan pembelot lantas dijawab oleh ibunya.

"Terus dijawab, 'Ada apa', (dijawab) 'Dipanggil kepala duka yang mulia'. Akhirnya ibu bilang 'Pakai-pakaian dulu',

lalu (ayah) turun ke bawah, saya mau ikut dilarang ayah saya," sebutnya.

Ia menjelaskan saat itu ayahnya ditarik dengan paksa untuk turun ke bawah.

"Menurut rekontruksi mereka tarik ayah saya ke bawah, paksa dorong kasar sekali.

Baca juga: Kisah Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono Dikhianati Bawahan saat G30S PKI

"Saya enggak boleh ayah saya ikut saya ke balkon mau lihat apa kelanjutannya," ujarnya.

Pada saat itu, ia melihat ayahnya dipaksa untuk hormat kepada perwira.

"Ayah saya disuruh hormat. Saya sebagai tentara ya mengerti, kok disuruh hormat? Terhadap perwira atau jenderal," kata Catherine.

Namun DI Panjaitan menolak dan mendapat pukulan di dahi.

Catherine lantas tahu, tembakan dilepaskan oleh pasukan pembelot ke dahi ayahnya.

"Langsung ayah saya pakai senjata laras dipukul, ayah saya jatuh saya langsung lari turun ke bawah, ternyata ditembak di dahi."

"Tapi saat saya turun ayah saya enggak ada lagi, diseret dilempar ke gerbang, karena gerbang kan tinggi, dilempar sudah kaya binatang," ungkapnya.

Mayat DI Panjaitan dibawa oleh pasukan pembelot ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya.

Diketahui, Lubang Buaya merupakan tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban G30S.

Chaterine juga membenarkan jalan cerita film G30S merupakan benar adanya karena ia ikut terlibat dalam memberikan kesaksian peristiwa itu.

Baca juga: DN Aidit dan Jejak Pikiran Sang Ketua PKI, Wawancara 1964

"Persis almarhum Arifin C Noer (red: sutradara) gambarkan," imbuhnya.

Chaterine juga menyatakan, Arifin C Noer melakukan wawancara satu per satu dengan saksi peristiwa.

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir
Mayjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Biodata Mayjen (Anm) DI Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Medan, Sumatera Utara, 9 Juni 1925, dikutip dari Wikipedia.

Saat Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia kemudian bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.

Di TKR, salah satu putra terbaik Batak itu pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, lalu menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.

Hingga dirinya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera.

Dan saat Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, Panjaitan diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Hingga berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, dan Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan.

Panjaitan lantas diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan.

Saat itu ia dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Seusai mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.

Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia.

Akan tetapi, tak lama pada tahun 1962, dirinya ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).

Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G30S terjadi. (*)

(TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)

Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id dengan judul Sosok Mayjen DI Panjaitan, Putra Batak Pendiri TKR dan Jenderal Berprestasi, Dibunuh PKI G30S 1965, 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved