ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

HIV dan AIDS

[BAGIAN PERTAMA] Kisah Para Perempuan Positif HIV di Papua, Masih Ingin Melihat Anak Beranjak Dewasa

"Saya masih ingin hidup dan ingin lihat anak saya beranjak dewasa," tutur Konstance Raweyai, mengungkapkan harapan akan masa depannya.

Editor: Roy Ratumakin
ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES
Seorang perempuan Papua dengan HIV Rosa menunggu perawatan di sebuah rumah sakit pada 5 Oktober 2009 di Merauke, Papua. 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - "Saya masih ingin hidup dan ingin lihat anak saya beranjak dewasa," tutur Konstance Raweyai, mengungkapkan harapan akan masa depannya.

Tes HIV yang ia lakukan enam tahun silam membuka kenyataan pahit yang membuatnya tak dapat lepas dari obat anti-retroviral virus atau ARV sepanjang sisa hidupnya.

Sempat gamang dan putus asa dengan virus yang berkelindan di tubuhnya, ia kini menjadi motivator bagi sesama pengidap HIV di Papua untuk terus berjuang melawan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.

Baca juga: 2.563 Kasus HIV/AIDS di Merauke Hingga September

"Saya mau mendorong mereka untuk ke layanan kesehatan maupun untuk berobat, agar mereka tetap sehat walaupun terinfeksi," aku Konstance dikutip dari laman Kompas.com dan BBC News Indonesia.

"Walaupun dikatakan kita orang yang hidup dengan HIV, tetapi tetap sehat seperti yang lain," ujarnya pada pertengahan September silam.

HIV/AIDS sudah lama menjadi isu kesehatan utama di Papua, bahkan menjadi ancaman mematikan.

Sayangnya, dua tahun belakangan, isu itu tertimbun oleh pandemi Covid-19 dan konflik tak berkesudahan antara militer Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua.

Tahun lalu, kasus AIDS di Papua ada di urutan teratas nasional dengan 23.629 kasus. Sementara kasus HIV di Papua ada di posisi keempat dengan 37.662 kasus.

Laporan UNAIDS terbaru menunjukkan bagaimana pandemi Covid dan pembatasan yang menyertainya telah mengganggu pengetesan HIV— di banyak negara hal ini telah menyebabkan penurunan tajam dalam diagnosis HIV, rujukan ke layanan perawatan, dan inisiasi pengobatan HIV.

'Sudah putus asa, tidak mau hidup'

Kala itu, pada suatu hari di tahun 2015, Konstance mengeluh sesak di dadanya. Batuk yang ia derita selama beberapa hari terakhir juga tak kunjung sembuh.

Baca juga: Hari Ini Gerhana Matahari, Cek Waktu dan Cara Melihatnya

Oleh kakaknya, Konstance segera diboyong ke rumah sakit. Setelah diperiksa di poli paru-paru, dokter memvonisnya mengidap tuberkulosis.

Tak hanya sampai di situ, dokter kemudian mengarahkannya ke layanan konseling dan tes HIV secara sukarela, atau voluntary counseling and testing (VCT). "Dari situ saya dikatakan positif (HIV])."

"Pokoknya sedih sekali. Saya menangis, sampai tidak mau makan. Sudah putus asa, tidak mau hidup," ujar Konstance, mengungkap apa yang ia rasakan ketika pertama kali mendapati dirinya positif HIV.

Baca juga: KKB Berulah di Distrik Suru-Suru Yahukimo pada Jumat Siang, 1 Prajurit TNI Gugur Tertembak

Kendati HIV mewabah di Papua, Konstance tak menyangka dirinya bakal terpapar virus itu.

Sebab, sepanjang hidup, ia menjalani perilaku seks aman dan tidak berganti-ganti pasangan. Ia tak tahu menahu dari mana ia terpapar virus itu. Yang ia tahu, selama ini ia hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya semata.

"Tapi pas dikatakan positif, saya berpikir mungkin suami saya tidak setia sama saya, mungkin ada yang lebih dari saya, makanya dia bergaul dengan perempuan yang sakit (HIV) sehingga saya mengalami sakit yang sama," tuturnya.

Ia sempat meminta suaminya untuk melakukan tes HIV, namun sang suami bergeming.

"Dia tidak percaya. Dia bilang, 'Ah itu salah,' karena memang sampai saat ini dia belum sakit." Tak lama setelah dinyatakan positif HIV, ia berpisah dengan suaminya. Virus itu merenggut nyawa salah satu anaknya yang kala itu masih bayi.

Ia kini hidup bersama dengan putra semata wayangnya, Alvaro. Berbeda dengan Konstance, putranya dinyatakan negatif HIV.

Ketika dirinya dinyatakan positif HIV, Konstance mengaku "putus asa" dan "tidak mau hidup".

Baca juga: Hasil Undian Semifinal: Dua Wakil Indonesia Bakal Hadapi Rintangan Berat

Namun sang anak memberinya secercah harapan dan menjadi motivasinya untuk tetap kuat.

"Saya selalu berdoa, 'Tuhan, kuatkan saya karena saya masih mau sama-sama dengan saya pu anak'".

"Walaupun saya sudah tidak sama-sama dengan saya pu suami, sudah ditinggalkan, tapi masih ada satu anak yang saya harus urus," aku Konstance.

Baca juga: Raih Kemenangan Perdana, Strategi Pramudya/Yeremia Berjalan Baik

Sama seperti orang dengan HIV/AIDS yang lain, stigma dan perlakuan diskriminatif pernah dialami oleh Konstance.

"Macam pas ibadah itu, biasa duduk dengan saya, waktu itu langsung tiba-tiba dong berdiri. Tapi kadang saya rasa trapapa, biasa saja."

"Terus saya cuma bilang, sampai air mata keluar tapi saya tahan, 'Ya Tuhan, saya hanya datang untuk beribadah,' lagi pula gereja kan bukan dia pu gereja. Kalau dia mau pindah, pindah saja."

"Kalau menurut saya itu tidak perlu, karena sa pikir HIV ada obatnya karena saya datang berobat terus. Ternyata minum obat ARV tidak apa-apa, sehat saja," katanya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved