Papua Terkini
Membongkar Penipuan Benny Wenda dan ULMWP Soal Isu Papua di MSG
Marinus mengatakan Indonesia saat ini sudah berstatus associate member dan ULMWP sendiri berstatus observer member.
Penulis: Calvin Louis Erari | Editor: Roy Ratumakin
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Calvin Louis Erari
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Pernyataan Benny Wenda, soal Komnas HAM tak memiliki kapasitas dalam memfasilitasi dialog Papua-Jakarta untuk meredam persoalan di Papua mendapat sorotan balik dari akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen), Marinus Mesak Yaung.
Dalam tulisannya yang diperoleh Tribun-Papua.com, Selasa (15/04/2022), Marinus mengatakan Indonesia saat ini sudah berstatus associate member dan ULMWP sendiri berstatus observer member.
"Artinya, anggota associate member memiliki hak berbicara dan hak voting, sementara anggota observer member memiliki hak bicara tetapi tidak memiliki hak voting. Ini regulasi di MSG," kata Marinus.
Baca juga: Kawal Kunjungan Dewan HAM PPB di Papua, ULMWP Wilayah Saireri Umumkan Panitia Penyambutan
Menurutnya, Isu Papua di forum MSG adalah bentuk serangan langsung terhadap konvensi Geneva dan Piagam PBB.
"Karena itu negara-negara MSG sangat hati-hati "memainkan isu Papua" agar kepentingan ekonomi dan politik mereka dengan negara-negara major power kawasan Pasifik tidak terganggu dan merugikan kepentingan nasionalnya mereka," ujarnya.
Menurut Marinus, Negara Vanuatu, satu-satunya negara di dunia yang setia dukung kemerdekaan Papua.
"Kesetian Vanuatu hanya karena mereka memiliki utang budi dan beban moral kepada keluarga Dirk Ayamseba, anaknya Andy Ayamseba dan Black Brothers dan Vanuatu tidak punya utang budi dengan Benny Wenda dan kelompoknya," jelasnya.
Hal itu terjadi lantaran, menurut Marinus, setelah Andy meninggal pada Februari 2020, isu Papua perlahan-lahan mulai redup di Vanuatu.
Baca juga: Penembakan Saat Rapat di Papua, Jenderal Andika Perintahkan Matikan Suara VC
"Isu Papua hanya bertahan dan menjadi agenda politik para elit dan PM yang berasal dari Vanua'aku Party," kata Marinus.
Partai politik di luar Vanua'aku Party, sudah tidak lagi bicara isu Papua dan untuk basis politik utama ULMWP itu di Port Villa, Vanuatu.
"Setelah Benny Wenda "tendang keluar" Oktovianus Mote dari ketua ULMWP tahun 2017 lalu, langsung secara sepihak, Benny kemudian memindahkan basis politik dan perlawanan dari Port Villa ke kota Oxford, Inggris," ujarnya.
Baca juga: ULMWP Saireri Deklarasi Panitia Sambut Dewan HAM PBB di Papua
Maka menurut Marinus, atas tindakan Benny Wenda, membuat Vanuatu kecewa.
"Tetapi karena rakyat dan elit politik Vanuatu masih menghormati keluarga Walter Lini, yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan keluarga Ayamiseba jadi mereka masih tetap terima kelemahan dan kekurangan Benny Wenda," tukasnya.
Selain itu, kata Marinus, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki sebuah doktrin foreign policy.
"Kalau dikalangan dosen Hubungan Internasional, kami sebut dengan istilah "The Jokowi's Doctrine" yang berbunyi "Setiap negara adalah sahabat baik Indonesia, tetapi persahabatan itu memiliki batasan saat kedaulatan negara direndahkan, dan kepentingan negara dirugikan," ujarnya.
Akibat The Jokowi Doctrine ini, tuntutan Benny Wenda, ULMWP dan orang Papua untuk meminta dialog dengan melibatkan pihak asing sebagai pihak ketiga yang bertindak menjadi mediator.
Baca juga: Organisasi Papua Merdeka Layangkan Mosi Tidak Percaya terhadap Benny Wenda, Konflik Internal?
"Soal ini mungkin agak sulit untuk direalisasikan, sebab mediator dan fasiltator dialog Papua-Jakarta (bukan dialog Jakarta-Papua, jangan dibalik) adalah pihak yang sudah disetujui dan diterima oleh kedua pihak, Papua dan Jakarta," kata Marinus.
Sementara Komnas HAM sudah diterima Jakarta, tetapi ditolak Papua.
"Jika Papua meminta pihak asing (state atau non state) sebagai mediator, silahkan Komnas HAM dan mediator asing tersebut bertemu dulu, bicara dan sepakati dulu posisi mereka sebagai mediator," saran Marinus.
Baca juga: Benny Wenda Nyatakan Kemerdekaan Papua Barat, Jubir OPM: Kami Tak Percaya Dia
Selanjutnya, baru sang mediator yang dibentuk mulai membangun dialog dengan Papua dan Jakarta.
"Tugas pertama sang mediator dalam dialog tersebut adalah mencari terlebih dahulu "bibit-bibit perdamaian" di Papua dan di Jakarta," ujarnya.
"Kalau sudah temukan bibit-bibit perdamaian tersebut, berikutnya melangkah ke langka kedua dan langka ketiga, sebagai langka terakhir pasca-dialog. Papua pasti aman dan damai. Ada banyak solusi dan pendekatan penyelesaian isu Papua," pungkasnya. (*)