Pemekaran Papua
Tolak DOB Papua, Mathius Awoitauw dan Yan Mandenas Beri Pesan Menohok untuk MRP
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib sebelumnya menegaskan pihaknya menolak pembentukan DOB di Papua.
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua hingga kini memang masih menuai pro dan kontra.
Sebut saja, sikap penolakan terhadap pemekaran terhadap Papua dan Papua Barat itu tidak hanya datang dari kelompok masyarakat, seperti halnya Petisi Rakyat Papua (PRP), melainkan pula Gubernur Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib sebelumnya menegaskan pihaknya menolak pembentukan DOB di Papua.
Terdapat tiga alasan mendasar MRP menolak DOB Papua.
Baca juga: Aksi Nasional Petisi Rakyat Papua Tolak DOB dan Otsus, Respon terhadap Sikap Lukas Enembe?
Pertama, saat ini masih ada kebijakan moratorium atau pemberhentian sementara pembentukan DOB.
Kemudian, rencana melakukan pemekaran itu tanpa kajian ilmiah dan faktor lain adalah soal Pendapatan Asli Daerah (PAD) 28 kabupaten/kota masih sangat rendah.
Selain itu, lanjut Murib, rencana pemekaran tiga wilayah di Papua tidak dapat menjamin kesejahteraan masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Karena tidak ada ketentuan yang dapat menjelaskan jaminan kesejahteraan di dalam legislasi.
MRP yang juga telah bertemu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD, mengaku bahwa aspirasi penolakan yang disuarakan datang dari aspirasi masyarakat Papua.
MRP Harus Bicara Data
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menyarankan Majelis Rakyat Papua (MRP) harus menyampaikan pernyataan berdasarkan data dan mekanisme yang berlaku.
"Melalui sidang, dan ada berita acara, daftar hadir, jadi ketua MRP itu dia bicara melalui hasil keputusan, dan mekanisme yang diatur, lalu aspirasi itu yang dibawa, karena MRP mewakili masyarakat adat," jelasnya.
Dikatakan, MRP harus bisa membawa aspirasi dari berbagai wilayah adat di Papua.
"Semua itu perlu dirumuskan dan diagendakan, kemudian disampaikan ke publik. Tapi kalau yang sekarang mereka sampaikan bukan hasil melalui itu," katanya.
Aspirasi Masyarakat Adat Mana yang Dibawa MRP?
Anggota DPR RI Dapil Papua, Yan Mandenas, mempertanyakan aspirasi tolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dibawa Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada Presiden RI Joko Widodo di Jakarta beberapa waktu lalu.
Hal ini dipertanyakan Mandenas karena menurutnya tak semua masyarakat Papua menolak DOB Papua.
“Nyatanya, masyarakat Animha – Papua Selatan mendukung. Begitu pula dengan masyarakat Tabi dan Saireri yang mendukung. Adapun masyarakat Meepago, sebagian besarnya mendukung,” tegas Yan Mandenas, Jumat (29/4/2022).
Politisi Partai Gerindra itu mempertanyakan aspirasi penolakan dari wilayah adat mana yang disampaikan MRP ke Presiden Jokowi.
Lagipula, sambungnya, aspirasi yang dibawa ke orang nomor satu di Republik Indonesia itu sifatnya sangat politis.
Mandenas mensinyalir pimpinan dan anggota MRP tidak membawa aspirasi dari lembaga yang mewakili masyarakat adat, perempuan, dan agama.
Baca juga: Animha, Tabi, hingga Meepago Dukung Pemekaran, Lantas Aspirasi Masyarakat Adat Mana yang Dibawa MRP?
Mantan aktivitas Papua itu meningatkan MRP untuk membaca dan memahami, serta menafsirkan dengan saksama Pasal 1 – 79 UU 2/2021 tentang Perunahan Kedua UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua.
“Anggota MRP tidak berjalan mewakili dirinya sendiri, tetapi harus merepresentasikan lembaga.”
“Di dalam lembaga MRP itu ada perwakilan dari setiap wilayah adat yang terdiri dari unsur adat, perempuan, dan agama,” terangnya.
Mandenas menilai, langkah pimpinan dan anggota MRP untuk bertemu dan menyampaikan aspirasi penolakan pembentukan DOB Papua sangat keliru karena menciderai amanat Otsus yang diberikan kepada MRP dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga kultur yang merepresentasikan adat, perempuan, dan agama.
“Seharusnya, MRP datang ke pusat dan sampaikan bahwa masyarakat dari wilayah adat Animha, Saireri, Meepago, Bomberai, menginginkan pemekaran.”
“Bukannya datang mengatasnamakan masyarakat adat yang presentasi data dan argumentasinya sangat diragukan karena berdasarkan kemauan pimpinan MRP, berdasarkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang sudah berbau politik praktis,” ungkanya.
Mandenas menegaskan bahwa MRP bukanlah lembaga politik.
“Demikian, tidak semestinya MRP menyampaikan aspirasi politik yang sifatnya mewakili kelompok, tapi harus melakukan tupoksi berdasarkan mekanisme yang seharusnya mereka tempuh untuk memenuhi syarat dan amanat UU 2/2021,” jelasnya. (*)