Papua Terkini
Terdakwa Pelecehan Dipidana 8 Bulan, Koalisi Pengacara Anak dan Perempuan Desak Pelaku Dihukum Berat
Korban tidak mendapatkan rasa keadilan melalui putusan pengadilan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jayapura.
Penulis: Putri Nurjannah Kurita | Editor: Paul Manahara Tambunan
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita
TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Koalisi Pengacara Anak dan Perempuan Papua meliputi ALDP Papua, LBH Papua, Peradin, ELSHAM, LBH Apik, Posbakumadin melakukan pendampingan terhadap korban pelecehan seksual untuk menjalani proses hukum.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Yustina Haluk mengatakan korban pelecehan seksual yang dialami salah satu kliennya sebelumnya di dampingi oleh ALDP Papua.
Namun dalam proses hukum yang dijalani, korban tidak mendapatkan rasa keadilan melalui putusan pengadilan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jayapura.
Baca juga: LBH Kecam Kekerasan Ormas hingga Pembiaran Aparat dalam Aksi Damai Mahasiswa Papua di Bali
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura pada Selasa (4/4/2023) menyatakan JM terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap MR pada 2020.
JM dihukum pidana penjara 8 bulan, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Perkara itu diperiksa dan diadili hakim yang diketuai Zaka Talapatty bersama hakim anggota Donald Everly Malubaya, dan Wempy William James Duka.
Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan JM terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual berupa perbuatan cabul terhadap MR.
Majelis menyatakan perbuatan JM telah melanggar Pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul yang diancam hukuman maksimal pidana penjara 9 tahun.
"Karena itu kami koalisi berkumpul dan akan menandatangani surat kuasa yang baru kemudian akan di dampingi selanjutnya oleh koalisi," ujarnya dalam jumpa pers di kantor ALDP Papua, Kamis (6/4/2023) malam.
Yustina menjelaskan dalam kasus ini, kliennya sebagai korban merupakan korban pelecehan seksual dari fakta sidang yang terungkap terbukti pelaku mengakui pelecehan seksual sebagaiamana didakwakan oleh jaksa dalam surat dakwaan tunggal yaitu pasal 289 KUHP dengan ancaman maksimal 9 tahun.
Namun dalam tuntutan jaksa tidak menuntut pelaku sesuai dengan ancamam dalam KUHP tersebut.
Malah jaksa menuntut agar terdakwa dituntut hanya 8 bulan.
"Sebagai pengacara perempuan kami merasa bahwa ini adalah suatu pelecehan dimana klien korban tapi jaksa tidak punya perpesktif perempuan sama sekali dimana tuntutannya sangat rendah bahkan kami mencurigai ada apa sebenarnya antara jaksa denga terdakwa."
Mestinya jaksa menuntut dengan hukuman maksimal yang kemudian hakim akan mempertimbangkan fakta persidangan yang terungkap kemudian dengan keyakinan halim dan beberapa alat bukti yang sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP bisa diputuskan hukuman yang maksimal untuk memberika keadilan kepada korban.
"Ini sama sekali tidak memberikan keadilan untuk korban, sehingga setelah selesai sidang korban menangis dan berteriak histeris di pengadilan," jelasnya.
Advokad lainnya dari Posbakumadin, Seli Yaru menilai yang dialami korban tidak sesuai dengan pakta persidangan dan dengan kasus yang sama yang telah ditanganinya.
"Ada kasus pemerkosaan tapi pasal yang dikenakan tidak sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh jaksa penutut umum. Korban merasa dirugikan tapi haknya tidak dipenuhi pada saat persidangan, dan ini jangan dibiarkan," jelasnya.
Baca juga: Cegah Kasus Kekerasan Terhadap Anak, Betty Puy: Sosialisasi Terus Dilakukan
Dengan berlakukannya undang-undang nokor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan koalisi berharap jaksa menggunakan undang-undang ini dalam menuntut kasus dimana yang menjadi korban adalah perempuan dan anak.
"Kami lihat beberapa klien yang didampingi jaksa tidak pernah memakai undang-undang ini dalam menuntut terdakwa dalam hal ini pelaku," katanya.
Langkah selanjutnya, pihaknya akan menyurat ke Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas Perempuan dan Anak, Komnas HAM, LPSK, dan KemenkumHAM.
"KemenkumHAM ini penting sekali karena yang mengawasi langsung lapas sehingga perlu berperan aktif dimana terdakwa masih bisa menggunakan telepon seluler. Terdakwa masih ditahan di lapas, masih bisa telepon dan ancam klien kami." (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.