ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sejarah Papua

Jejak PKI dalam Agresi Militer di Papua

Gabungan Kepala Staf (GKS) TNI mencapai kesimpulan bahwa mereka tidak bersedia melakukan perang terhadap Belanda atas wilayah Irian Barat.

Tribun-Papua.com/Tribunnews.com
DN Aidit, Ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia (PKI). 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Rupanya wartawan legendaris Indonesia Rosihan Anwar (alm) pernah mengenang Irian Barat atau dikenal Papua saat ini.

Wacana upaya militer pemerintah Indonesia guna merebut Papua mengemuka pada pertengahan 1961.

Itu terjadi lantaran Presiden Soekarno semacam putus asa dengan jalur diplomasi yang tak kunjung berhasil dipakai merebut Irian Barat.

Menurut Rosihan Anwar, ada satu pihak yang tak sepakat dengan opsi agresi militer tersebut: Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Gabungan Kepala Staf (GKS) TNI mencapai kesimpulan bahwa mereka tidak bersedia melakukan perang terhadap Belanda atas wilayah Irian Barat.

"Kesimpulan ini mereka tulis dalam sebuah memorandum yang telah disampaikan kepada Presiden/Panglima Tertinggi. Alasannya rupa­rupa,” tulis Rosihan dalam catatan pada 10 Agustus 1961 yang tercantum dalam bukunya Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 (terbit 1980).

Baca juga: Kisah Henk Ngantung, Gubernur DKI Etnis Tionghoa Pertama yang Menderita Usai Dicap PKI

Secara militer-teknis GKS berpendapat pihak Indonesia belum siap berperang.

Sebaliknya, Soekarno dan Menteri Luar Negeri Subandrio yang saat itu cenderung ke kiri sudah “oorlogszuchtig” alias sudah tak sabar ingin berperang dan menginvasi Papua.

Menurut Rosihan, pertimbangan militer-teknis tidak berlaku bagi dua sekawan tersebut.

Pandangan yang berkebalikan dengan pendapat Jenderal Nasution yang ia simpulkan dari rerupa kunjungan ke Eropa dan Timur Tengah.

Nasution mengambil kesimpulan dari kunjungan-kunjungan itu, negara negara Blok Barat akan mengambil sikap antagonistis terhadap Indonesia bila serangan militer dilancarkan.

Tahanan komunis menuju Boven Digoel pada tahun 1927
Tahanan komunis menuju Boven Digoel pada tahun 1927 (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Sedangkan negara-negara Timur Tengah menyatakan tak kuasa menutup terusan yang bakal dipakai kapal-kapal tempur negara-negara Barat membalas agresi Indonesia ke Papua.

“Demikianlah seraya ke luar pihak Tentara masih tetap berbicara tentang soal Irian Barat, keadaan sebenarnya di dalam memperlihatkan hal lain, yakni tidak adanya kesediaan untuk berperang mengenai soal Irian Barat,” tulis Rosihan.

Persoalannya, saat itu tentara, utamanya TNI Angkatan Darat (AD) punya pengaruh yang harus dibagi dengan kekuatan lainnya.

Antaralain Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah berhasil menghimpun jutaan pendukung setelah diampuni dosanya dalam pemberontakan di Madiun pada 1948.

Soal Papua, PKI sudah mendukung upaya dilakukannya agresi militer sejak pertengahan 1950-an

Pada Kongres Nasional VII (Luar Biasa) yang berlangsung di Jakarta, 7-14 September 1956, sikap itu masuk dalam program partai.

“Perhebat lebih lanjut perjuangan pembebasan Irian Barat dengan jalan menyusun kekuatan dalam negeri, menggalang semua potensi nasional, memodernisasi perlengkapan AD, ALRI, dan AURI dan menarik solidaritas internasional, untuk  menghadapi segala kemungkinan,” bunyi simpulan program PKI di bidang hubungan internasional saat itu seperti dimuat secara lengkap tabloid Bintang Merah yang terbit selepas kongres.

Partai-partai lain, tak punya program serupa saat itu.

Sukarno tak menutup mata atas dukungan tersebut.

M C Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia (2008) menuliskan, sikap PKI terkait Papua membuat Sukarno memasukkan Ketua Umum CC PKI DN Aidit dan agitator Nyoto, keduanya saat itu menjabat menteri koordinator, sebagai anggota “Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat”.

Saat itu, PKI juga parpol utama yang berhasil menggelar aksi-aksi massa mendukung perebutan Papua.

Setimbalnya, tulis Ricklefs, sentimen soal Papua digunakan PKI untuk meraih sebanyak mungkin anggota-anggota baru.

Tak hanya soal dukungan massa, sumbangan yang lebih signifikan kaum kiri terhadap perebutan Papua terkait persenjataan.

Pengaruh PKI dan sikap Sukarno yang kian ke kiri membuat Indonesia bisa ke Uni Soviet dan membeli senjata guna melancarkan agresi ke Papua saat Amerika Serikat enggan merestui operasi perebutan.

Di antara alutsista yang didatangkan dari Soviet guna merebut Papua, menurut Sibero Tarigan dalam Kisah Heroik Seputar Perjuangan Indonesia Merebut Irian Barat (2014), adalah 41 helikopter MI-4, sembilan helikopter MI-6.

Kemudian 30 jet tempur MiG-15, 49 pesawat buru MiG-17, 10 pesawat buru MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21.

Satu kapal penjelajah kelas Sverdlov, 22 pesawat pembom Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim, 26 pesawat angkut IL-14 dan AQvia-14, dan enam pesawat angkut berat Antonov An-12B.

Dengan persenjataan tersebut, juga sokongan terus-menerus aksi-aksi massa PKI, Presiden Sukarno akhirnya memerintahkan operasi militer yang digelar pada Desember 1961.

Sedangkan TNI, dengan tambahan alutsista terbaru tak menolak perintah.

Operasi dengan sandi Mandala tersebut dipimpin Mayjen Soeharto.

Melihat efektifnya Operasi Mandala dan dukungan kuat Blok Timur terhadap operasi itu, Amerika Serikat akhirnya merayu Belanda berunding dan akhirnya menyerahkan Papua ke tangan pengawas internasional dari PBB pada Agustus 1962.

Aidit tak menunda kesempatan menggembar-gemborkan peran PKI dan kaum kiri terkait perebutan Papua.

Kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). (Dok: Dipa Nusantara Aidit)
Kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). (Dok: Dipa Nusantara Aidit) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Dalam tulisan untuk Pravda, surat kabar CC Partai Komunis Uni Soviet pada 13 Oktober 1962, ia memuji kesatuan golongan kiri di Tanah Air maupun internasional terkait perebutan Papua Barat.

Terkait perjuangan dalam negeri, Aidit menyatakan bahwa tanpa bantuan nyata kubu sosialis, “Kaum imperialis Belanda dan Amerika Serikat tidak pernah akan dapat dipaksa untuk menyetujui pemasukan Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.”

Sementara untuk dukungan dari luar negeri, Aidit menuliskan, “tak dapat dibayangkan tanpa bantuan yang sungguh-sungguh tidak mementingkan diri dari pihak negeri-negeri Sosialis terutama Uni Soviet."

"Bantuan tersebut, berupa senjata-senjata termodern dan sokongan moral yang sepenuh-penuhnya amat meninggikan daya tempur angkatan bersenjata Republik Indonesia sehingga menjadi lawan yang sungguh-sungguh ditakuti oleh kaum imperialis.”

Baca juga: Kisah Bung Hatta di Boven Digoel: Baca Buku, Main Catur hingga Mempersiapkan Api Revolusi

Dalam tulisan itu, Aidit juga mengklaim partai menyumbang sukarelawan guna bertempur di Papua.

“Berjuta-juta pemuda dan pemudi Indonesia mendaftarkan diri sebagai sukarelawan untuk dikirim ke daerah front Irian Barat guna merintis untuk penancapan kekuasaan Republik Indonesia di Irian Barat,”klaim Aidit.

Ia juga mendaku, upaya buruh-buruh dalam organisasi sayap PKI mengambil alih perkebunan, pabrik, dan tambang yang dikuasai perusahaan Belanda pada Desember 1957 satu rangkaian dalam upaya perebutan Papua.

Pola pikir Aidit dan propagandanya sama sekali tak memberikan tempat bagi kemungkinan bagi Papua menjadi negara merdeka.

Tuntutan kemerdekaan Papua yang sudah disuarakan sejumlah anasir di Papua saat itu dipandang Aidit sebagai cara-cara “memelihara imperialisme Belanda di Irian Barat dengan meminjam tangan-tangan pribumi.”

Mantra soal peran besar PKI dalam perebutan Papua juga berulang kali dirapalkan Aidit.

“Perjuangan gagah berani daripada rakyat dan anggota-anggota partai kita telah menyebabkan bebasnya Irian Barat dan dicabutnya SOB yang terkutuk itu,” kata Aidit dalam pidatonya dalam sidang pleno CC PKI pada 25 Desember 1963.

Sejarah kemudian mencatat, setelah upaya kup gagal pada 1965 dan pembubaran PKI yang menyusul, justru pihak-pihak di seberang PKI yang menangguk untung dari perebutan Papua yang diklaim atas jasa partai tersebut.

Baca juga: Mengenal Inggit Garnasih, Sosok Inspirasi Soekarno Muda

Amerika Serikat, sang Setan Besar di mata PKI, berhasil memeroleh izin pengelolaan tambang di Mimika yang mengalirkan keuntungan berlipat-lipat selama sekian puluh tahun ke negeri Paman Sam, juga ke pundi-pundi pemerintahan Orde Baru.

Pengerukan sumber daya yang hingga saat ini masih terus menggoreskan luka di Tanah Papua barangkali bakal tetap terjadi, bagaimanapun.

Tapi apa mau dikata, sudah telanjur tercatat dalam sejarah bahwa sokongan masif PKI terhadap agresi militer pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an yang jadi salah satu pembuka nelangsa tersebut. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved