Sejarah
Black Brothers dan Kiprahnya di Pusaran Organisasi Papua Merdeka: Kisah Perjalanan Band Musafir
Andy bersama Black Brothers hijrah ke Vanuatu pada awal tahun 1984, dan memulai kampanye OPM. Black Brothers mendapat tempat di hati masyarakat sana.
Penulis: Paul Manahara Tambunan | Editor: Paul Manahara Tambunan
Di era 1970-an, keriuhan musik rock kebanyakan berpusat di Jawa.
Pada era itu muncul God Bless, AKA, The Rollies, hingga Giant Step.
Namun, Black Brothers menjulang dari Papua.
Karyanya hingga kini tetap dikenal dan dicintai, meski pernah mengalami pergantian personel dan berbagai kontroversi.
Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal).
Band yang sebelumnya bernama Los Iriantos Primitive ini terbentuk di Jayapura, Papua pada awal tahun 1970an.
Mereka kemudian hijrah ke Jakarta pada tahun 1976 untuk meniti karier bermusik yang lebih menjanjikan.
Band ini dimanajeri oleh Andy Ayamiseba, seorang pengusaha berdarah Cina-Papua.
Dibawah nahkoda Andy, BB (Black Brothers) menjalin kerjasama dengan Nyo Beng Seng pemilik label rekaman Irama Tara, salah satu label mayor saat itu.
Black Brothers merilis 8 album dan 1 album Natal bersama Irama Tara selama rentang waktu 1976-1979.
Pada tahun 1977 Black Brothers mendapat penghargaan Golden Record dan juga memenangi trofi sebagai salah satu dari tiga band terbaik (AKA/SAS, God Bless & Black Brothers) versi majalah ternama Indonesia (Femina, Gadis, Intisari, Aktuil).
Pada masa keemasannya, salah satu lagu ciptaan Hengky MS, “Kisah Seorang Pramuria,” sempat menimbulkan kontroversi karena dianggap sangat identik dengan Charles Hutagulung.
Namun, Black Brothers tidak goyah dan terus berkarya dengan lagu-lagu yang membumi, seperti “Hari Kiamat,” “Derita Tiada Akhir,” “Lonceng Kematian,” “Hilang,” dan lainnya.
Momen penting dalam karier Black Brothers datang pada 28 Desember 1976.
Atas inisiatif kelompok mahasiswa Papua di Jakarta, Black Brothers manggung bersama SAS, grup band pecahan AKA yang terdiri dari Soenata Tanjung, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin.
Dua band funk rock ini manggung di Istora Senayan.
"Mereka juga pernah menulis lagu tentang perang Vietnam, kelaparan di Ethiopia, perang Pasifik, juga tentang nuklir," ujar Ibiroma Wamla, seorang antropolog.
Pada 1980-an, mereka pindah ke Belanda.

Ada simpang siur tentang alasan kepergian mereka. Ada yang mengatakan mereka pergi untuk mencari suaka politik.
Ada pula yang mengatakan mereka pergi untuk mengejar karier musik.
Baca juga: Jadi Band Rock Legendaris di Tanah Air, Begini Perjalanan Karier Musik Black Brothers
Menurut Ibiroma yang beberapa kali menulis tentang Black Brothers, kepergian mereka lebih untuk mengejar karier.
"Kalau tekanan politik tidak mungkin. Mereka dapat izin manggung kok pada saat itu," ujarnya, dilansir tirto.id
Pengamat musik Denny Sakrie, dalam wawancara bersama Metro TV, pernah mengatakan kepergian itu amat disayangkan.
Kepergian itu, membuat penggemar mereka di Indonesia kehilangan jejak Black Brothers.
Tak tahu apa yang mereka buat di Belanda.
"Sangat disayangkan, band yang punya prospek masa depan yang bagus, akhirnya menjadi hilang ditelan bumi. Karena visi politik yang lebih kuat," kata Denny.
Selepas hijrah dari Indonesia, aspirasi politik Black Brothers memang lebih gencar disuarakan.
Selepas tinggal di Belanda, mereka sempat berpindah ke Vanuatu dan Papua Nugini.
Situs Discogs menyebut Black Brothers mempengaruhi banyak band-band muda di Papua Nugini.
Begitu juga di tanah kelahiran mereka, Papua.
Selepas Black Brothers, muncul band-band seperti Black Papas, Black Sweet, Black Power, juga Black Family. (*)
Sumber:
Buku catatan Andy Ayamiseba: Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.