ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sejarah

Black Brothers dan Kiprahnya di Pusaran Organisasi Papua Merdeka: Kisah Perjalanan Band Musafir

Andy bersama Black Brothers hijrah ke Vanuatu pada awal tahun 1984, dan memulai kampanye OPM. Black Brothers mendapat tempat di hati masyarakat sana.

Tribun-Papua.com/Istimewa
BAND ROCK legendaris dari Tanah Papua, Black Brothers: beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal). 

"Sepotong sejarah gerakan perjuangan Papua"

===========

Organiasi Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1970 menempatkan Rex Rumakiek sebagai perwakilannya dan telah membangun hubungan dekat dengan para pemimpin New Hebrides—salah satu partai nasional, yang kemudian pada tahun 1979 berganti nama menjadi Vanua’aku Pati (Party) di Vanuatu.

Surat penetapan Rex Rumakiek sebagai perwakilan tetap OPM di Vanuatu dikeluarkan oleh Komite Nasional OPM No. 007/P.KN/83.

Pos Vanuatu kemudian dilanjutkan oleh Andy Ayamiseba.

Black Brothers mengadakan tur yang pertama ke Vanuatu pada tahun 1983.

Black Brothers membangkitkan kembali rencana semula antara OPM dan Vanua’aku Pati, agar Black Brothers harus menetap di Vanuatu guna memperkuat dukungan politik terhadap West Papua.

Waktu itu ada indikasi bahwa hanya Vanua’aku Pati saja yang mendukung perjuangan West Papua.

Andy meyakinkan Walter Lini dan Vanua’aku Pati tentang dukungan Black Brothers terhadap kampanye politiknya, sehingga memuluskan jalan baginya untuk maju dalam pemilihan umum di Vanuatu.

Baca juga: Black Brothers, Band Rock Legendaris dari Tanah Papua

Black Brothers ke Vanuatu atas undangan resmi Father Walter Lini dan Vanua’aku Pati tahun 1983 (partai yang berkuasa saat itu) untuk membantu menggalang dana kampanye politik, guna memenangkan pemilu pertama di negara Vanuatu.

Setelah Vanua’aku Pati kembali memenangkan pemilu, Andy bersama Black Brothers hijrah ke Vanuatu pada awal tahun 1984, dan memulai kampanye OPM di sana.

Tahun 1970-an Rex Rumakiek telah membangun hubungan dengan para tokoh kemerdekaan Vanuatu, termasuk Hilda Lini (saudara perempuan Walter Lini), Kalkot Mataskelekele (kemudian bekerja di Mahkamah Agung Vanuatu), Silas Hakwa dll.

Black Brothers (berdiri dari kiri ke kanan: Yochie Pattipeluhu, Benny Bethany, Stevie Mambor, Hengky M.S. Duduk kiri ke kanan: David Rimagesang a.k.a Dullah Yunus & Amri Kahar)
Black Brothers (berdiri dari kiri ke kanan: Yochie Pattipeluhu, Benny Bethany, Stevie Mambor, Hengky M.S. Duduk kiri ke kanan: David Rimagesang a.k.a Dullah Yunus & Amri Kahar) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Para tokoh kemerdekaan Vanuatu, sebagian adalah mahasiswa di University of Papua New Guinea (Universitas Papua New Guinea) yang kembali ke Vanuatu dan terlibat dalam gerakan kemerdekaan Vanuatu.

Peran mahasiswa Vanuatu di kemudian hari menjadi sangat penting dalam mendukung perjuangan Pembebasan Papua Barat.

Selama di Vanuatu, Black Brothers merilis album Border Crossers, Live in Salomon dalam album Border Crossers terdapat lagu yang berjudul “Liklik Hope Tasol” yang dinyanyikan dalam bahasa Bislama, lagu yang sangat populer saat itu, disamping “Blue Eyes From Santo Town”.

Black Brothers mendapat tempat di hati masyarakat Vanuatu.

Show Black Brothers selalu dihadiri ribuan orang.

Tahun 1986, Black Brothers mengadakan show di Honiara, Solomon Islands, untuk membantu rakyat yang mengalami bencana akibat angin badai Cyclone Namu (Santo Cyclone) dan show di tahun 1987 untuk membantu masyarakat Vanuatu yang dilanda bencana Cyclone Uma.

Jaringan di Salomon dijajaki bulan Juni 1996, saat itu sebuah delegasi OPM di bawah pimpinan Brigjen. Seth Jafeth Rumkorem mengujungi Solomon Islands atas sponsor Andy Ayamiseba.

Tugas berikutnya yang diberikan Rumkorem sebagai Presiden Pemerintahan Revolusi Sementara (PRS), kepada Andy Ayamiseba adalah mempersiapkan satu kantor Perwakilan OPM yang akan dibuka di Vanuatu, sebagai ganti dari kantor Perwakilan OPM yang ditutup di Dakar, Senegal 1985.

Andy lalu membawa kelompok Black Brothers dari Belanda ke Vanuatu dan ikut berkampanye untuk memenangkan Vanua’aku Pati dalam tiga kali pemilihan umum (1980, 1983, dan 1986), yang ketika itu dipimpin oleh Fr. Walter Lini dan Barak Sope.

Perjuangan pembebasan Papua Barat akhirnya disponsori oleh Vanua’aku Pati untuk menjadi Permanent Foreign Policy of Vanuatu Government.

Tahun 2003, Andy Ayamiseba berhasil melobi Pemeritah Koalisi VP dan UMP yang baru, untuk membuka kantor OPM, yang diberi nama Kantor Perwakilan Bangsa Papua Barat (West Papuan People’s Representative Office/WPPRO).

Bersatunya Rex Rumakiek, Andy Ayamiseba petinggi dari OPM faksi Marvic dan John Ondawame selaku Menteri dalam Kabinet (1978, 1980, 1983, 1992) dari faksi PEMKA, merupakan kemajuan besar perjuangan Papua di Pasifik.

Mereka bertiga secara bersama berupaya menyatukan jaringan perjuangan di Papua yang terpecah-pecah dalam faksi-faksi dengan membangun sebuah organisasi payung agar perjuangan pembebasan Papua memperoleh pengakuan internasional.

Barak Sope dan Eduard Natapei, berhasil mengajukan Wantok Bill, lalu diterima oleh seluruh anggota Parlemen dan Pemeritah Vanuatu pada Juni 2010.

Usaha Andy untuk mendapat Wantok Bill dari pemerintah Vanuatu dilakukannya setelah pertemuan WPNCL akhir tahun 2008 di Port Vila, Vanuatu.

Wantok Bill adalah keputusan Parlemen Vanuatu terhadap Perjuangan Papua Merdeka sebagai Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Vanuatu.

Sekalipun pemimpin pemerintah berganti, isu Kemerdekaan Papua akan tetap menjadi agenda Pemerintah dan Rakyat Vanuatu.

Wantok Bill merupakan undang-undang yang diadopsi dari petisi rakyat yang diajukkan anggota parlemen independen, Ralph Regenvanu.

Agenda lobi melalui Vanuatu Parliamentary Lobby Group for West Papua tetap dijalankan di bawah koordinasi MP. Ralph Regenvanu.

Karena Tuan Sope sudah tidak lagi menjadi anggota Parlemen.

Andy mengadakan pertemuan khusus dengan Edward Nipake Natapei, untuk mambawa isu Papua agar dibahas dalam suatu sesi MSG Parliamentary meeting on West Papua di Vanuatu.

Negara yang tergabung dalam MSG bisa didesak oleh parlemen masing-masing negara untuk membahas isu Papua dalam MSG.

Black Brothers menjadi salah satu grup band papan atas pada 1976.
Black Brothers menjadi salah satu grup band papan atas pada 1976. (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Usulan Andy sangat didukung oleh PM Natapei dan ia berjanji akan mengajukan suatu Joint Council of Ministers Paper bersama Menlu Vanuatu agar bisa mendapat dukungan dari kabinet dalam pertemuan tersebut.

Black Brothers, Kisah Perjalanan Band Rock Legendaris dari Tanah Papua

Mungkin tak banyak anak muda zaman sekarang di luar Papua yang mengetahui Black Brothers, band rock legendaris dari ujung timur Indonesia.

Terlebih, tahu dan hapal sejumlah lagunya yang populer di era 80an.

Tapi jangan tanya di Papua, siapa saja akan emosional apabila mengenangnya.

Black Brothers menjadi salah satu grup band papan atas pada 1976.

Sejak akhir 1960-an, tanah Papua kedatangan militer Indonesia dalam jumlah besar.

Ada banyak pertempuran terjadi antara militer Indonesia dengan warga Papua.

Di sisi lain, militer Indonesia juga membuat band untuk mengisi waktu senggang.

Angkatan Laut, misalkan, membentuk grup Varunas.

Kodam Cenderawasih punya grup Tjenderawasih, sedangkan Acub Zaenak yang pernah menjabat Gubernur Papua 1973-1975, membentuk kelompok Band Pemda.

Di era 1970-an, keriuhan musik rock kebanyakan berpusat di Jawa.

Pada era itu muncul God Bless, AKA, The Rollies, hingga Giant Step.

Namun, Black Brothers menjulang dari Papua.

Karyanya hingga kini tetap dikenal dan dicintai, meski pernah mengalami pergantian personel dan berbagai kontroversi.

Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal).

Band yang sebelumnya bernama Los Iriantos Primitive ini terbentuk di Jayapura, Papua pada awal tahun 1970an.

Mereka kemudian hijrah ke Jakarta pada tahun 1976 untuk meniti karier bermusik yang lebih menjanjikan.

Band ini dimanajeri oleh Andy Ayamiseba, seorang pengusaha berdarah Cina-Papua.

Dibawah nahkoda Andy, BB (Black Brothers) menjalin kerjasama dengan Nyo Beng Seng pemilik label rekaman Irama Tara, salah satu label mayor saat itu.

Black Brothers merilis 8 album dan 1 album Natal bersama Irama Tara selama rentang waktu 1976-1979.

Pada tahun 1977 Black Brothers mendapat penghargaan Golden Record dan juga memenangi trofi sebagai salah satu dari tiga band terbaik (AKA/SAS, God Bless & Black Brothers) versi majalah ternama Indonesia (Femina, Gadis, Intisari, Aktuil).

Pada masa keemasannya, salah satu lagu ciptaan Hengky MS, “Kisah Seorang Pramuria,” sempat menimbulkan kontroversi karena dianggap sangat identik dengan Charles Hutagulung. 

Namun, Black Brothers tidak goyah dan terus berkarya dengan lagu-lagu yang membumi, seperti “Hari Kiamat,” “Derita Tiada Akhir,” “Lonceng Kematian,” “Hilang,” dan lainnya.

Momen penting dalam karier Black Brothers datang pada 28 Desember 1976.

Atas inisiatif kelompok mahasiswa Papua di Jakarta, Black Brothers manggung bersama SAS, grup band pecahan AKA yang terdiri dari Soenata Tanjung, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin.

Dua band funk rock ini manggung di Istora Senayan.

"Mereka juga pernah menulis lagu tentang perang Vietnam, kelaparan di Ethiopia, perang Pasifik, juga tentang nuklir," ujar Ibiroma Wamla, seorang antropolog. 

Pada 1980-an, mereka pindah ke Belanda.

Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal).
Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal). (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Ada simpang siur tentang alasan kepergian mereka. Ada yang mengatakan mereka pergi untuk mencari suaka politik.

Ada pula yang mengatakan mereka pergi untuk mengejar karier musik.

Baca juga: Jadi Band Rock Legendaris di Tanah Air, Begini Perjalanan Karier Musik Black Brothers

Menurut Ibiroma yang beberapa kali menulis tentang Black Brothers, kepergian mereka lebih untuk mengejar karier.

"Kalau tekanan politik tidak mungkin. Mereka dapat izin manggung kok pada saat itu," ujarnya, dilansir tirto.id

Pengamat musik Denny Sakrie, dalam wawancara bersama Metro TV, pernah mengatakan kepergian itu amat disayangkan.

Kepergian itu, membuat penggemar mereka di Indonesia kehilangan jejak Black Brothers.

Tak tahu apa yang mereka buat di Belanda.

"Sangat disayangkan, band yang punya prospek masa depan yang bagus, akhirnya menjadi hilang ditelan bumi. Karena visi politik yang lebih kuat," kata Denny.

Selepas hijrah dari Indonesia, aspirasi politik Black Brothers memang lebih gencar disuarakan.

Selepas tinggal di Belanda, mereka sempat berpindah ke Vanuatu dan Papua Nugini.

Situs Discogs menyebut Black Brothers mempengaruhi banyak band-band muda di Papua Nugini.

Begitu juga di tanah kelahiran mereka, Papua.

Selepas Black Brothers, muncul band-band seperti Black Papas, Black Sweet, Black Power, juga Black Family. (*)

Sumber:

Buku catatan Andy Ayamiseba: Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved