ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Info Papua

Hutan Adat Papua Ditelan Perusahaan Sawit, Suku Awyu dan Moi Tuntut Keadilan di MA 

Menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat

Penulis: Yulianus Bwariat | Editor: Lidya Salmah
istimewa
Aksi demo damai oleh Suku Awyu dan Suku Moi di Mahkamah Agung. Foto: Ist 

PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong.

Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha.

Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. 

Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

"Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami; kebutuhan kami semua ada di hutan." 

"Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?" kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi.

Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. 

Baca juga: Pasca-aduan Masyarakat Soal Aktivitas Perusanaan Kelapa Sawit, Pemkab Jayapura Adakan Pertemuan

Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.

Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air..

"Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi. 

"Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya," kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat.

Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. 

Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum. 

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.

"Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua. Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim," kata Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia. (*)
 

 

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved