Papua Terkini
Lemahnya Perlindungan Hukum Hambat Kebebasan Pers di Papua, Kekerasan Masih Menghantui Jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis pun masih menghantui Insan Pers di tanah Papua. Fakta menyakitkan ini sangat disayangkan terus berlanjut.
TRIBUN-PAPUA.COM - Kebebasan pers di Tanah Papua ibarat masih jauh panggang dari api.
Jurnalis dan perusahaan media di Papua belum sepenuhnya merasakan kebebasan menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
Jurnalis di Bumi Cenderawasih masih menerima intervensi saat liputan hingga belum mendapat perlindungan hukum menyeluruh.
Bahkan, kekerasan terhadap jurnalis pun masih menghantui Insan Pers di tanah ini.
Fakta menyakitkan ini sangat disayangkan terus berlanjut.
Pdahal sejatinya, indeks kebebasan pers yang baik ikut menentukan kualitas kehidupan berdemokrasi.
Ini menjadi satu topik pembicaraan dalam diskusi kelompok terarah (FGD) di Jayapura, Papua, Kamis (8/8/2024).
Baca juga: Wartawan di Nabire Dikeroyok Polisi Saat Liput Demo, Kapolres Hanya Bisa Meminta Maaf
Diskusi yang dihadiri perwakilan Dewan Pers, asosiasi pers, asosiasi pengusaha, akademisi, aparat penegak hukum, dan perwakilan masyarakat ini untuk menyusun Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024.
”Diskusi seperti ini akan membantu kita menguatkan kebebasan pers, termasuk di Papua. Negara dengan demokrasi yang baik, diikuti dengan kebebasan pers yang baik juga,” kata Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto, Kamis.
Dalam penilaian IKP, ada tiga indikator yang diukur, yaitu kondisi lingkungan fisik politik, ekonomi, dan hukum.

Pada 2024, Dewan Pers akan mengukur IKP di 38 provinsi menggunakan perpaduan metode kualitatif dan kuantitatif.
Sebelumnya, pada 2023, IKP dilakukan di 34 provinsi.
Pada 2023, IKP Indonesia berada pada angka 71,57 atau berada dalam kategori ”cukup bebas”.
Angka ini menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan indeks 77,88, juga dalam kategori ”cukup bebas”.
Adapun pada 2023, IKP di Papua hanya 64,01 (agak bebas), lebih rendah dari IKP nasional dan menjadi yang paling rendah di antara 34 provinsi lainnya.
Adapun pada 2022, IKP Papua sebesar 75,57 (cukup bebas).
Jika berdasarkan IKP 2023, Tri Agung memaparkan, ada sejumlah kondisi yang menghambat kebebasan pers di Papua.
Hal itu bisa terlihat dengan rendahnya indeks kebebasan dari kekerasan, akses atas informasi publik, hingga pendidikan insan pers.
”(Indeksnya menurun) Kemungkinan karena situasi kemerdekaan pers yang memburuk, informan ahli yang lebih realistis (melihat kemerdekaan pers saat ini), hingga (pengaruh) pergantian informan ahli,” ujarnya.

Oleh karena itu, Tri Agung mengatakan, diskusi grup terarah dengan sejumlah pihak begitu penting.
Harapannya, berbagai faktor penghambat serta solusi penguatan kebebasan pers bisa terungkap.
Apalagi, katanya, pers tidak hidup di ruang hampa, tetapi selalu bersinggungan dengan konteks sosial, ekonomi, politik negara, serta masyarakat.
Intervensi dan kekerasan
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura Lucky Ireeuw menuturkan, masih ada intervensi dan kekerasan yang dialami insan pers di Papua. Di sisi lain, penyelesaian hukum kasus-kasus ini tidak pernah tuntas.
Dia mencontohkan kasus teror bom yang dialami wartawan senior Victor Mambor di Jayapura pada awal 2023.
Menurut dia, kepolisian seharusnya mampu mengungkap kasus ini karena ancaman teror berulang dialami Victor.
Apalagi, selama ini berbagai teror dan kekerasan yang dialami jurnalis di Papua tidak berhasil diungkap dengan jelas.
Dengan begitu, jurnalis tidak mendapatkan perlindungan dalam menunaikan tugasnya.
Baca juga: AJI Jayapura Kecam Aksi Pengeroyokan Empat Jurnalis Papua di Nabire saat Meliput Demonstrasi
Hal ini juga disoroti Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua Frits Ramandey.
Dia menyebutkan, sepanjang 2024, ada sejumlah bentuk intimidasi yang dialami jurnalis Papua, seperti yang terjadi Kabupaten Nabire (Papua Tengah) dan Kota Sorong (Papua Barat Daya).
Di daerah-daerah tersebut, para pekerja mendapat intervensi dan kekerasan oleh aparat keamanan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Selain itu, ada stigma yang diterima jurnalis orang asli Papua yang kerap diasosiasikan dengan kelompok separatis turut menjadi hambatan.
Akan tetapi, dia tetap memuji ada sejumlah kasus kekerasan oleh aparat keamanan kepada jurnalis yang telah dituntaskan hingga penegakan hukum.
Seharusnya, menurut Frits, semua kasus harus diselesaikan dengan menyeluruh.
”Tidak boleh hanya sampai pada mediasi dengan permintaan maaf, tetapi harus sampai penegakan hukum itu,” ujar Frits.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo menyatakan, pihaknya selalu berkomitmen dalam upaya penegakan hukum, termasuk yang menimpa pekerja pers.
Namun, dia mengakui ada sejumlah kasus yang menimpa jurnalis belum bisa dituntaskan sepenuhnya.
Hal seperti ini, kata Benny, juga terjadi pada kasus-kasus lainnya.
Selain itu, Benny menyebut, pihaknya selalu terbuka bagi wartawan.
Namun, Benny juga mengakui, masih ada fungsi kepolisian lain yang belum sepenuhnya terbuka kepada pekerja pers.
”Misalnya, reserse dan sabhara belum (terbuka kepada wartawan). Mungkin, mereka masih merasa terganggu (saat menjalankan tugasnya),” ucap Benny. (*)
Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.