Lingkungan Hidup
Masyarakat Adat Terancam, Ruang Hidup Terus Dirampas
Alih-alih menambah devisa negara, situsai ini justru memperburuk citra Indonsia di mata dunia, terlebih soal komitmen negara menjaga alam.
TRIBUN-PAPUA.COM - Konflik lahan yang takberkesudahan di Indonesia terus menghantui masyarakat adat.
Selain merampas ruang hidup, masyarakat adat juga kerap menjadi korban kriminalisasi demi melancarkan investasi.
Alih-alih menambah devisa negara, situsai ini justru memperburuk citra Pemerintah Indonsia di mata dunia, terlebih soal komitmen negara menjaga kelestarian lingkungan.
Lemahnya perlindungan dan pengakuan terhadap komunitas masyarakat ini beserta wilayah hutan adatnya, dianggap sebagai boiang utamanya.
Konflik terbaru terjadi di Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Di Desa Bukit Buluh, empat warga yang memanen sawit milik perusahaan ditangkap polisi.
Mereka dituduh mencuri, sedangkan warga mengklaim tengah panen di tanah lelulur.
Seruyan jadi wilayah rawan konflik antara warga dan perusahaan sawit.
Baca juga: Ini Pesan Penting Suku Malind Merauke dalam Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia
Konflik memuncak saat melibatkan aparat. Konflik serupa terjadi di Seruyan Raya pada Oktober 2023.
Seorang warga Desa Bangkal tewas ditemb ak polisi. Adapun polisi yang menembak diadili.
Konflik juga terjadi di Sumatera dan Papua.
Konflik wilayah adat di sejumlah daerah yang aktif mencapai 100 kasus.
Ruang hidup masyarakat adat terancam akibat proyek pembangunan ataupun industri ekstraktif (Kompas.id, 9/8/2024).
Hal ini menunjukkan lambatnya pengakuan masyarakat hukum adat beserta wilayahnya. Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat, hingga Agustus 2024, luas wilayah adat teregistrasi 30,1 juta hektar.
Peta wilayah adat yang diakui pemerintah daerah baru 4,8 juta hektar.

Selain itu, luas hutan adat yang teregistrasi mencapai 23,2 juta hektar.
Dari luasan itu, penetapan hutan adat dari pemerintah baru 265.250 hektar.
Hampir 70 persen wilayah adat yang sudah dipetakan memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan ekosistem esensial.
Jumlah ini jauh dari target pemerintah memberikan 1,5 juta hektar perhutanan sosial, termasuk hutan adat, kepada masyarakat.
Banyak lahan adat diserobot demi investasi.
Satu dekade terakhir 11 juta hektar wilayah adat yang dirampas sejumlah pihak.
Tumpang tindih kepentingan
Kondisi ini berpotensi besar menimbulkan konflik berupa tumpang tindih kepentingan wilayah adat yang belum diakui ini. Salah satu titik sengketa berupa konflik tenurial atau hak lahan antara masyarakat adat dan sejumlah pihak.
Konflik ini berupa pertentangan klaim penguasaan dan penggunaan area hutan dan sumber daya alam lain.
Warga adat pun mengajukan gugatan atas penguasaan lahan milik adat guna kepentingan investasi, pembangunan infrastruktur, dan obyek strategis negara.
Tidak mudah bagi masyarakat adat mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah leluhur yang sudah lama dimiliki.

Mereka berhadapan dengan kekuasaan dan birokrasi pemerintah ataupun kekuatan korporasi yang ekspansif menggerus tanah adat.
Tekanan ini membuat masyarakat adat makin terpinggirkan di tanah leluhurnya.
Belum diakuinya hak atas tanah leluhur ini membuat akses warga adat terhadap wilayahnya amat terbatas.
Padahal, komunitas adat berperan penting menjaga tanah dan lingkungannya.
Baca juga: Aksi Massa di Jayapura, Front Peduli Masyarakat Adat Papua Suarakan Kedaulatan Alam dan Keadilan
Selama ini masyarakat adat menggantungkan hidupnya terhadap tanah berikut ekosistem dan kekayaan alamnya.
Karena itu, menjaga kelestarian lingkungan menjadi keniscayaan bagi masyarakat adat agar keturunannya bisa memenuhi kebutuhan hidup dari alam.

Keberadaan masyarakat adat pun kerap kali dianggap menghambat pembangunan dan kegiatan ekonomi.
Padahal, hal ini terjadi karena warga adat kurang dilibatkan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan.
Sebagai penjaga terbaik sumber daya alam dan ekosistem hutan, warga adat bisa menjadi bagian solusi krisis iklim.
Hari Masyarakat Adat Internasional yang diperingati setiap 9 Agustus menjadi momentum mewujudkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. (*)
Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.