ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Nasional

Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK Ingin OTT Dihapuskan, Ada Apa?

Johanis Tanak merespons pertanyaan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Rudianto Lallo, mengenai relevansi OTT pada KPK.

Tribun-Papua.com/Kompas
Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK 2019-2024 yang maju jadi Capim KPK tuai sorotan gegara pernyataan akan hapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) seandainya terpilih jadi ketua KPK. (KOMPAS/Heru Sri Kumoro) 

TRIBUN-PAPUA.COM - Wakil KetuaKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kini menjadi salah satu calon pimpinan KPK, Johanis Tanak, menyatakan akan meniadakan operasi tangkap tangan atau OTT yang biasa dilakukan lembaganya apabila terpilih menjadi Ketua KPK.

Sebab menurutnya, hal tersebut tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan.

”Menurut hemat saya, OTT itu tidak tepat dan saya sudah sampaikan kepada teman-teman. Tapi, seandainya bisa jadi, mohon izin, jadi Ketua (KPK), saya akan tutup, close."

"Karena, itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana),” kata Tanak dalam sesi tanya jawab seleksi calon pimpinan (capim) KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/11/2024).

Ungkapan Tanak langsung disambut tepuk tangan dari anggota Komisi III DPR yang hadir di ruang rapat.

Adapun Tanak merespons pertanyaan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Rudianto Lallo, mengenai relevansi OTT pada KPK.

Bagaimana pandangan capim lainnya soal OTT KPK?
 
Meski tak menyoroti dari aspek legalitas OTT KPK seperti disampaikan oleh Johanis Tanak, capim KPK lainnya Poengky Indarti juga berpendapat serupa.

Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) 2016-2024 itu, upaya pencegahan lebih baik dibandingkan penangkapan alias OTT.

Dengan mengoptimalkan upaya pencegahan, maka tindakan korupsi diharapkan tidak terjadi.

Selain Poengky, sejumlah capim KPK lainnya, yakni Fitroh Rohcahyanto (Jaksa fungsional pada Kejaksaan Agung), Michael Rolandi (mantan Kepala Inspektorat Pemerintah Provinsi Jakarta), dan Alamsyah Saragih (mantan anggota Ombudsman RI), juga menekankan pentingnya penindakan dan pencegahan korupsi bersamaan.

Berbeda dengan mayoritas capim lainnya, mantan Direktur Penyidikan KPK Komisaris Jenderal Setyo Budiyanto memandang bahwa OTT masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi.

Sebab, OTT bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus-kasus yang lebih besar.

Kendati demikian, metode tersebut perlu dilakukan secara selektif berdasarkan skala prioritas.

Ditemui di sela-sela rapat konsultasi dan pendalaman untuk para calon anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Rabu (20/11/2024), Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Sahroni, mengatakan, pihaknya memang mendalami gagasan para capim KPK soal OTT.

Menurut dia, selama ini OTT cenderung menjadi alat untuk memublikasikan orang tertentu ke hadapan publik, dan kerap kali hal tersebut merugikan orang dimaksud.

Padahal, Komisi III DPR berharap agar OTT dilakukan sesuai dengan konsepnya.

Apakah di antara calon anggota Dewas berpandangan hal yang sama terkait OTT KPK?
 
Saat rapat konsultasi dan pendalaman calon Dewas KPK oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/11/2024), salah satu kandidat, yakni Wisnu Baroto, pun berpemikiran sama dengan Johanis Tanak tentang tidak perlunya lagi OTT KPK.

Namun, ia tidak melihatnya dari sisi legalitas.

Menurut dia, OTT yang selama ini dilakukan KPK tak lagi relevan dengan pemberantasan korupsi.

Meski sempat mengubah paradigma, KPK perlu berkembang dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Penyidik KPK, menurut dia, harus mampu menganalisis dan mendeteksi kasus korupsi yang besar dan melibatkan organ strategis bangsa.

 ”Dengan berkembangnya modus kejahatan yang canggih, beragam, dan berskala besar, maka metode OTT tidak lagi mumpuni untuk memerangi hal tersebut,” tutur Staf Ahli Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.

Mengapa ada usulan agar OTT KPK diatur dalam regulasi khusus?
 
Calon anggota Dewas KPK, Benny Jozua Mamoto, menginginkan operasi tangkap tangan yang biasa dilakukan lembaga antirasuah itu diatur dalam undang-undang khusus.

Hal itu diungkapkan Benny saat rapat konsultasi dan pendalaman calon Dewas KPK oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Benny menganalogikan OTT KPK dengan penyidik polisi yang melakukan pembelian narkoba terselubung untuk menangkap pelaku.

Selain itu, menurutnya, OTT juga mirip dengan transaksi di bawah pengawasan, yakni ketika polisi membuntuti kurir narkoba hingga melakukan transaksi agar mengetahui pihak lain yang terlibat.

”Menurut pendapat kami, hal ini (pidana narkoba) diatur khusus dalam undang-undang khusus. Maka, dalam hal OTT KPK, menurut kami, juga perlu satu aturan yang dibuat atau payung hukum, sehingga nanti tidak dipermasalahkan,” ujarnya.

Bagaimana pakar hukum dan masyarakat sipil melihat sikap sejumlah capim dan Dewas terkait OTT KPK?
 
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto saat dihubungi Rabu (20/11/2024) mengatakan, tidak tepat argumentasi yang disampaikan Johanis Tanak, bahwa OTT KPK tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Juru bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan, operasi tangkap tangan itu (OTT) dilakukan pihaknya saat Yan Piet Mosso yang diduga sedang melakukan korupsi di wilayah Papua Barat Daya hari Minggu (12/11/2023).
Juru bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan, operasi tangkap tangan itu (OTT) dilakukan pihaknya saat Yan Piet Mosso yang diduga sedang melakukan korupsi di wilayah Papua Barat Daya hari Minggu (12/11/2023). (Tribun-Papua.com/Istimewa)

”Justru operasi adalah upaya dari penegak hukum untuk menggali informasi sehingga mereka mengetahui akan terjadi suatu tindak pidana korupsi. Ya pernyataan Johanis Tanak itu kan mencari-cari alasan saja,” ujar Aan Eko.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, juga mengatakan, praktik OTT KPK selalu didahului dengan proses perencanaan, mulai dari proses penyadapan hingga diikuti pengintaian terhadap terduga pelaku.

Ketika terduga beraksi, KPK dapat langsung melakukan penangkapan.

”Dan perlu dipahami bahwa proses penyadapan sendiri sebagai sebuah proses perencanaan ketika hendak melakukan OTT secara eksplisit telah diamanatkan dalam Pasal 12 Ayat (1) UU KPK,” ujar Diky.

ICW pun mendesak anggota Komisi III DPR tidak memilih calon pemimpin KPK berdasarkan selera subyektif hanya karena calon yang diuji hendak menghapus OTT KPK.

Sebab, hal tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan membahayakan masa depan pemberantasan korupsi. (*)

Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved