Papua Terkini
Kasus Rudapaksa Anak oleh Polisi di Keerom Diadukan ke Komisi Yudisial, Hakim Langgar Kode Etik
Keluarga korban keberatan dan kekecewaan yang mendalam atas putusan yang membebaskan terdakwa Bripda Alfan Fauzan Hartanto anggota Polres Keerom.
Penulis: Putri Nurjannah Kurita | Editor: Paul Manahara Tambunan
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjanah Kurita
TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Kuasa Hukum kasus kekerasan seksual anak di bawah umur melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura dalam perkara nomor 329 Pid.Sus/2024/PN Jap kepada Komisi Yudisial (KY) RI Perwakilan Papua pada Selasa (18/3/2025).
Dalam siaran pers diterima Tribun-Papua.com, Kamis (20/3/2025), Kuasa Hukum korban Dede Gustiawan Pagudun mengatakan, kasus yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura yang dibacakan pada tanggal, 23 Januari 2025 itu keluarga korban menyatakan keberatan dan kekecewaan yang mendalam atas putusan yang membebaskan terdakwa Bripda Alfan Fauzan Hartanto anggota Kepolisian Resor Keerom, Provinsi Papua dari segala tuntutan hukum.
Oleh karena itu, kuasa hukum membawa persoalan ini kepada yang berwenang untuk menguji putusan tersebut, baik upaya hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penutup Umum (JPU) untuk mengajukan kasasi.
"Kami juga telah melaporkan permasalahan ini ke Komisi Yudisial RI melalui Komosi Yudisial Perwakilan yang ada di Papua," katanya.
Baca juga: Hakim PN Jayapura Vonis Bebas Oknum Polisi Terdakwa Kekerasan Anak di Keerom Papua, Keluarga Kecewa
Surat pengaduan itu diterima oleh Koordinator Komisi Yudisial Perwakilan Papua Methodius Kossay di ruangannya di Padang Bulan, Kota Jayapura.
Menurut Deden, KY akan mempelajari, dan menganalisa putusan tersebut. Dia menilai, putusan bebas yang yang dijatukan oleh hakim PN Jayapura kepada terdakwa sangat bertentangan dengan prinsip keadilan, perlindungan terhadap anak, serta norma hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kami menilai terdapat dugaan kuat bahwa hakim yang bersangkutan tidak menjalankan tugasnya dengan profesional, imparsial, dan berintegritas sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)," katanya.

Berdasarkan fakta persidangan dan hasil analisisnya terdapat beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim yang bersangkutan, yaitu;
1. Mengabaikan fakta persidangan. Dalam persidangan, telah dihadirkan saksi-saksi yang memperkuat bukti perbuatan terdakwa, termasuk korban, saksi ahli, dan alat bukti lainnya.
2. Putusan yang tidak berpihak pada Perlindungan Anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sistem peradilan pidana harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Putusan bebas terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak dapat memberikan preseden buruk dan berpotensi melukai psikologis korban.
3. Indikasi Ketidakberpihakan pada keadilan putusan yang dijatuhkan terkesan mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan keluarga korban. Hal ini berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap institusi peradilan dan memberikan efek negatif terhadap korban serta masyarakat luas.
4. Potensi Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berdasarkan Peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/PB/MA/IX/2012–No. 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Berdasarkan hal-hal di atas, didalam isi surat pengaduan kuasa hukum meminta Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk;
1. Melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Baca juga: VIRAL Skandal di Polres Kaimana, Dua Remaja Diduga Jadi Korban Rudapaksa Oknum Polisi: Cek Pelaku
2. Menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini sesuai dengan kewenangan Komisi Yudisial guna memastikan bahwa proses peradilan berjalan dengan adil dan berintegritas.
3. Memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung untuk mengevaluasi hakim yang bersangkutan serta memastikan agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.