ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

PAPUA

Konflik Tak Berujung, Papua Masih Dibelenggu Kekerasan dan Kemiskinan

Theo Hesegem, aktivis HAM Papua sekaligus Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), menilai situasi di Papua tak

|
Tribun-Papua.com/Noel Iman Untung Wenda
MASYARAKAT ASLI PAPUA - Tampak seorang adik berbaring di pangkuan kakaknya yang menjual pinang di depan salah satu ruko di Wamena, sambil menunggu pembeli, Minggu (07/09/2025) 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com,Noel Iman Untung Wenda

Di Tanah Papua, ketenangan seolah menjadi barang langka. Bagi Orang Asli Papua maupun pendatang, hidup sehari-hari ibarat berjalan di atas jalan berlumut yang licin, mudah terombang-ambing oleh kepentingan politik dan konflik bersenjata.

Theo Hesegem, aktivis HAM Papua sekaligus Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), menilai situasi di Papua tak kunjung berubah sejak integrasi wilayah itu ke Indonesia pada 1963. 

“Papua dipaksa masuk dengan manipulasi, militerisasi, dan janji-janji kosong,” kata Theo saat ditemui di Wamena, Sabtu, (06/09/2025).

Baca juga: Pertamina dan Pemkab Biak Jalankan Program Pelestarian Terumbu Karang

Sejarah yang Menyisakan Luka

Papua Barat pernah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Namun, setelah Indonesia mengambil alih pada 1963, rakyat Papua dipaksa mengikuti Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. 

Menurut kesaksian para pelaku, proses itu penuh tekanan dan iming-iming, mulai dari rumah hingga radio, tanpa pernah benar-benar memberi kebebasan memilih.

Baca juga: Gerhana Bulan Total akan Terjadi Nanti Malam, Cek Jadwal dan Cara Melihatnya

Sejak saat itu, Orang Asli Papua justru menjadi salah satu kelompok termiskin di wilayah Indonesia timur, meski tanah mereka menyimpan emas, gas, nikel, dan berbagai sumber daya alam bernilai tinggi.

HAM yang Terus Terkoyak

Dari masa ke masa, pelanggaran HAM di Papua terus berulang. Operasi militer melahirkan pengungsian, penembakan, dan trauma panjang bagi warga sipil. 

Baca juga: Polisi Jayapura Dalami Penemuan 131 Butir Peluru Tak Bertuan di Sentani

“Setiap tahun, kasus kekerasan meningkat, tapi pemerintah selalu bilang situasi aman,” ujar Theo.

Laporan-laporan internasional, termasuk dari PBB, berulang kali menyoroti kondisi Papua. Namun, menurut Theo, jawaban pemerintah Indonesia cenderung menutup-nutupi fakta.

Baca juga: Gubernur Meki Nawipa Minta Semangat Festival Pelajar Digunakan Untuk Melestarikan Budaya

Pos TNI dan Rasa Takut

Selain operasi militer, kehadiran pos-pos TNI di berbagai distrik juga menambah ketegangan. Di Jayawijaya misalnya, warga menolak pos baru karena merasa diawasi saat beribadah maupun berkebun. Bahkan, ada kasus ketika ladang warga dirusak tanpa seizin pemilik.

“Pendekatan humanis tidak pernah dilakukan. Padahal masyarakat adat punya hak ulayat. Kalau prosedur dilanggar, wajar kalau mereka menolak,” tegas Theo.

Baca juga: Bupati Nabire Kawal Penyaluran DD Tahap Awal 2025 Untuk 3 Distrik

Empat Akar Masalah

Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia  (LiPI) mencatat empat akar persoalan Papua yang hingga kini tak pernah disentuh secara serius:

1. Status politik integrasi Papua.

2. Kekerasan dan pelanggaran HAM.

3. Diskriminasi dan marjinalisasi Orang Asli Papua.

4. Kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Baca juga: Butuh Sentuhan Pemerintah, Ini Harapan Masyarakat Distrik Sinak

“Kalau empat akar masalah ini diselesaikan, konflik Papua akan berakhir. Tapi pemerintah justru takut kehilangan Papua kalau itu disentuh,” kata Theo.

Desakan ke Presiden Prabowo

Theo mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tegas:

Bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Baca juga: Gubernur Meki Nawipa Janji Hadiah Leptop Untuk Semua Peserta Festival Pelajar

Mengundang Komisi HAM PBB dan jurnalis internasional untuk memantau situasi.

Membuka dialog internasional bila tak mampu menyelesaikan akar masalah.

Menindaklanjuti Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang penyelesaian pelanggaran HAM.

“Papua adalah tanah kaya yang terus terluka. Kalau negara terus menutup mata, luka itu hanya akan semakin dalam,” pungkas Theo. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved