G30S PKI
Kesaksian Dua Peneliti dan Dua Algojo 1965: Dicap PKI dan Disiksa
Para algojo atau penjagal muncul sebagai eksekutor untuk membunuh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) atau mereka yang dicap sebagai PKI.
TRIBUN-PAPUA.COM - Luka mendalam dirasakan mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban peristiwa pembantaian anggota PKI selepas tragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965, atau G30S PKI 1965.
Menengok kejamnya peristiwa G30S, hadir kebijakan pemberantasan terhadap orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para simpatisannya yang menyulut konflik sosial di Jawa dan Bali hingga menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Seusai kejadian G30S, konflik yang berujung pembunuhan terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Salah satunya adalah pembantaian terhadap orang-orang PKI dan yang dituduh sebagai PKI di Boyolali dan Salatiga, Jawa Tengah.
Mengingat saat itu Provinsi Jawa Tengah, khususnya Boyolali adalah basis utama massa PKI.
Baca juga: Kisah Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono Dikhianati Bawahan saat G30S PKI
Para algojo atau penjagal muncul sebagai eksekutor untuk membunuh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) atau mereka yang dicap sebagai PKI.
Berikut adalah beberapa kesaksian yang Tribunnewswiki.com kutip dari Liputan Khusus Tempo edisi 1-7 Oktober 2012, 'Pengakuan Algojo 1965'.
Informasi yang dituliskan telah terlebih dahulu dilakukan verifikasi melalui beberapa sumber.
Selain itu juga telah dilakukan pengecekan apakah benar pelaku atau orang yang sekadar ingin dicap berani.
Privasi narasumber tetap diutamakan.
Pencantuman nama seseorang diperoleh melalui izin atau berita yang telah memperoleh izin.
Beberapa orang yang tak ingin disebut namanya, maka akan dicantumkan inisial.
Baca juga: Menakar Dalang G30S: Peran PKI, Konflik Internal AD, CIA hingga Soeharto
Sedangkan foto yang terpampang adalah mereka yang telah memberikan izin gambar untuk diketahui publik luas.
Tidak ada niatan untuk membuka aib atau menyudutkan orang-orang yang terlibat.
Tribunnewswiki.com tidak mengubah beberapa pernyataan individu untuk menjaga otentisitas sumber.
Pada tahun 1965, Soepomo adalah pengajar di Sekolah Dasar Ampel, Boyolali, Jawa Tengah.
Pada tahun 2012, Soepomo menjadi Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.
Pada tahun ini juga Soepomo berumur 67 tahun dan menceritakan pengalamannya saat ditangkap oleh sekelompok tentara di daerah Mojosongo Utara.
Soepomo memiliki telinga kiri terbelah yang ditangkap dan dibawa ke kantor Bintara Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat atau Komando Rayon Militer Mojosongo, Boyolali.
Di kantor tersebut, ia diinterogasi atas tuduhan kepemilikan senjata.
Tuduhan yang Soepomo dapatkan tak terbukti, namun demikian ia disiksa.
Baca juga: Sorotan Media Asing Atas Tragedi G30S PKI 1965: Ada Propaganda Hitam Inggris
"Dua hari dua malam, telinga dan betis dibabat pedang samurai, kepala dipukul popor senjata, punggung dicambuki dengan karet besar ukuran 5-6 centimeter sepanjang 60 centimeter," ungkap Soepomo.
Akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G30S, membuat tentara dan massa bergerak di wilayah Boyolali, Klaten, Solo, Sukoharjo dan sekitarnya.
Provinsi Jawa Tengah memang dikenal sebagai daerah merah karena banyak terdapat basis-basis keanggotaan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Soepomo menuturkan operasi penumpasan PKI dilakukan oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat dan Pasukan Komando Daerah Militer VII/Diponegoro, yang berlangsung sejak 22 Oktober 1965.
Ditangkapnya Soepomo beralasan karena ia aktif sebagai anggota pengurus Pemuda Rakyat (organisasi pemuda afiliasi PKI) di Kabupaten Boyolali.
Soepomo mengaku sempat menjadi target pembunuhan, namun berhasil lolos karena bantuan temannya.
Pada akhirnya, Soepomo ditangkap dan ditahan di beberapa kamp penahanan.
Selanjutnya, ia dipekerjakan secara paksa selama bertahun-tahun.
Saat ini, Soepomo giat dalam advokasi korban peristiwa 65.
Baca juga: Kisah Musso, Pimpinan PKI Madiun yang Dieksekusi Mati Sebelum G30S
Ia mengaku bersama dengan seorang saksi yang masih hidup melakukan pendataan tempat-tempat pembantaian dan penguburan.
Salah satu menurutnya adalah di daerah Sonolayu yang tak jauh dari Taman Makam Pahlawan, di Kabupaten Boyolali, di kaki Gunung Merapi.
"Di sanalah ratusan orang dibantai", kata Soepomo.
Saat ini, di daerah tersebut ditanam ketela pohon dan pepaya, sedangkan terdapat beberapa batu nisan dan batu penanda yang diletakkan keluarga yang peduli terhadap peristiwa tersebut.
Tidak hanya itu, Soepomo juga menuturkan berdasarkan penelitiannya bahwa tempat pembantaian lain berada di Lapangan Kaligentong, Kecamatan Ampel, khususnya di Kelurahan Lawang, Jurug, Ketaon, Banyudono, dan Jurang Porong yang berada di perbatasan Kecamatan Musuk-Klaten.
Menurutnya, kuburan ratusan korban juga ditemukan di Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, yang berlokasi persis di daerah Gunung Butak, yaitu bukit kecil di jalan yang menghubungkan Kecamatan Sruwen, Kabupaten Semarang, dan Kecamatan Karanggede, Boyolali.

Kesaksian Lainnya
Singgih Nugroho, dari Yayasan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), Salatiga menyatakan bahwa lokasi pembantaian juga berada di Alas Kopen, Kecamatan Bringin, dan Lapangan Skeep Tengaran.
Selanjutnya, di daerah selatan, lokasi pembantaian anggota PKI berada di daerah Tulung, Perbatasan Boyolali-Klaten.
Salah seorang Komandan Peleton Gerakan Masyarakat, Gito Sudarmo (82 tahun, 2012) menuturkan ia pernah diminta membantu tentara Balation E Cilacap untuk menangkap dan menelanjangi korban.
"Salah satunya di bekas gudang gula Belanda yang sekarang menjadi gedung badminton di sebelah barat Pasar Cokro, Tulung," kata Gito.
Baca juga: Kisah Letjen MT Haryono Korban G30S, Fasih 3 Bahasa dan Dimusuhi PKI
Gito menuturkan bahwa ia bersama 30 pemuda biasanya bertugas mengambil jatah untuk menangkap orang yang diduga anggota PKI.
Menurut Gito, tiga orang yang ditangkap biasanya dikawal lima anggota peleton Gito.
Ia menuturkan bahwa orang-orang yang ditangkap seringnya berada dalam kondisi babak belur, beberapa bahkan tewas karena ramai dipukuli.
Dituturkan oleh Gito bahwa ia bersama para pemuda lainnya membawa tawanan ke lokasi eksekusi.
"Di lokasi tersebut sudah ada lubang untuk menguburkan mayat. Siapa yang menggali, saya tidak tahu," kata Gito.
Gito menuturkan eksekusi tawanan tidak pernah dilakukan di tempat yang sama.
Menurutnya ia bertugas hanya mengawasi namun tak pernah ikut mengeksekusi.
Gito mengaku melihat beberapa orang yang akan mengeksekusi merasa kesulitan karena korban memiliki kekebalan tubuh.
"Kami geledah, kalau perlu ditelanjangi sampai ketemu jimat. Kekebalan mereka hilang," kata Gito. (*)
Sumber:
Liputan Khusus Tempo, 1 - 7 Oktober 2012 "Pengakuan Algojo 1965"
Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id dengan judul Cerita Soepomo dan Singgih, Pembantai Ratusan Oknum PKI Boyolali: Dapat Jimat Kekebalan