HIV dan AIDS
[BAGIAN KELIMA] Strategi Pelayanan di Tengah Pandemi
Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.
Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.
Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.
Baca juga: [BAGIAN PERTAMA] Kisah Para Perempuan Positif HIV di Papua, Masih Ingin Melihat Anak Beranjak Dewasa
"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," kata Nadia dikutip Tribun-Papua.com dari laman Kompas.com.
Bagi mereka yang khawatir untuk mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengakses obat, Nadia mengatakan, petugas di layanan kesehatan mengirim obat tersebut.
"Atau alternatif kedua, kalau dia punya dampingan, artinya punya teman-teman kelompok dukungan sebaya, melalui kelompok dukungan sebaya inilah dititipkan obatnya untuk dipastikan juga bahwa mereka betul-betul minum obat," ujar Nadia.
Adapun, bagi ODHA yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan - seperti pemeriksaan CD4 (tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi sistem imun orang dengan HIV) atau viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) - mereka bisa tetap menjalani pemeriksaan sebagaimana mestinya di fasilitas kesehatan, dengan protokol kesehatan yang ketat.
Baca juga: Danrem Jebolan Kopassus: Jumlah KKB Tak Bayak, Tapi Kuasai Medan
Strategi pelayanan semacam itu, juga diterapkan di RSUD Jayapura, ujar Siti Soltif, perawat di rumah sakit tersebut.
"Jadi obat saya kasih umpamanya biasanya satu bulan, kita kasih jadi dua bulan. Kalau dia sangat sehat sekali dan rumahnya jauh, kita kasih tiga bulan." katanya.
"Tapi kalau yang ada keluhan, ya seperti biasa, ada yang satu minggu, dua minggu, tergantung kebutuhan. Yang pasti dengan adanya pandemi ini, pelayanan kami tetap jalan."
Baca juga: [BAGIAN KEDUA] Kisah penderita HIV/AIDS di Papua: Merangkul Sesamanya yang Putus Obat
Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan pemberian obat multi-bulan, atau dikenal dengan istilah WHO multimonth dispensing, adalah "sebuah pendekatan yang sangat baik".
Ia mengatakan, metode ini sudah dijalankan di luar negeri sebelum Covid, dengan tujuan agar pasien-pasien yang dinilai sudah stabil, artinya mereka sudah tidak lagi banyak membutuhkan monitor dari dokter setiap bulan, itu bisa diberikan obat setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali.
"Tujuannya supaya jelas itu memangkas biaya, memangkas waktu. Juga kita tahu bahwa masih tinggi stigma dan diskriminasi di lapangan, kalau dia semakin jarang ke layanan kan semakin baik. Jadi sebenarnya ini strategi yang disarankan WHO," kata Aditya.
Baca juga: [BAGIAN KETIGA] Mengapa Perempuan Mendominasi Kasus HIV?
Belum Ada 'Greget' Tangani HIV/AIDS di Papua
Kesehatan adalah salah satu dari empat bidang prioritas dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, selain pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur.
Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 triliun pada 2020 kemarin.
Dana Otsus itu, diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Alokasi anggaran kesehatan yang sebelumnya dialokasikan sekurang-kurangnya 15% dalam Undang-Undang Otsus Papua, kini direvisi menjadi 20% dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua jilid II.
Akan tetapi, menurut mantan kepala Dinas Kesehatan Papua, drg Aloysius Giay, dalam implementasi Otsus Papua jilid I, "hanya beberapa kabupaten yang bisa mencapai minimal 15%.
"Di kabupaten tertentu, anggaran di bidang kesehatan kadang-kadang 10%, 8%. Yang mencapai 15% ke atas itu sedikit.
Baca juga: [BAGIAN KEEMPAT] Penanganan HIV Terbengkalai
"Pada kabupaten tertentu, saya tidak melihat program prioritas menjawab masalah masyarakat, apalagi yang menghilangkan nyawa masyarakat seperti HIV/AIDS, malaria, atau kurang gizi."
"Saya lihat belum greget untuk menangani ini tuntas secara luar biasa," ungkap Aloysius.
Lantas, bagaimana anggaran kesehatan itu terimplementasi dalam penanganan HIV/AIDS di Papua?
Aloysius mengungkapkan bahwa dana Otsus untuk instansi dinas kesehatan dan rumah sakit terbilang sedikit. Sebab, dana tersebut lebih banyak untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah.
Baca juga: PT Angkasa Pura I Tunda Gaji dan Tunjangan Karyawan Akibat Pandemi
"Sehingga ya paling di dinas kesehatan itu dulu kita sifatnya hanya bimkes, evaluasi. Hanya itu, tidak ada langsung tindakan ke masyarakat."
Adapun, pada akhir Oktober silam, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Yanuel Matuan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah AIDS Papua tahun 2019 oleh Kejaksaan Tinggi Papua.
Kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 miliar itu diduga dilakukan dengan modus pembelian obat oleh Ketua KPA Papua pada tahun 2019.
Akan tetapi, obat tersebut memiliki izin edar dan tanpa melalui proses lelang. Siti Soltif menganggap KPA Papua "mati suri" selama beberapa tahun terakhir.
Sebab, dana yang semestinya digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, justru disalahgunakan untuk membeli obat yang efektivitasnya dipertanyakan.
"Dana yang dikucurkan ke KPA untuk kepentingan penanggulangan, disalahgunakan untuk membeli obat MLM Purtier Placenta. Jadi pasien dikejar untuk minum Purtier Placenta, padahal kita sudah punya ARV," terang Siti.
Baca juga: Generasi Milenial Papua Maknai Hari Anti Korupsi Internasional 2021
Jika sebelumnya KPA memfasilitasi sejumlah program dan pelatihan untuk ODHA, lanjut Siti, kini program-program tersebut tak ada lagi.
"Dana itu digunakan oleh segelintir orang di KPA untuk kepentingan mereka," kata Siti.
Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah pusat hanya bisa memberikan petunjuk, dan mensinkronkan program di pemerintah pusat dengan program prioritas di daerah, baik di provinsi dan kabupaten kota.
Baca juga: Seorang Warga di Sumsel Dibakar hingga Tewas karena Rebutan Lahan, Polisi Periksa Camat
"Saya rasa pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten kota, sudah sangat paham bahwa HIV/AIDS itu adalah masalah yang memang harus menjadi prioritas di Tanah Papua karena melihat angka kejadian baik kasus HIV, juga kasus AIDS. Kasus AIDS terjadi karena kita sering terlambat," katanya.
Nadia melanjutkan bahwa pemerintah pusat telah mewajibkan kabupaten dan kota melakukan testing secara rutin kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten kota.
"Ini harapannya kalau kita bisa melakukan testing dengan dini, kita bisa segera mendapatkan kasus orang dengan HIV/AIDS lebih dini," katanya.
Akan tetapi, Agustinus Adil, yang telah lama berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS di Papua, mengatakan kendati alokasi dana untuk kesehatan tersedia, namun seringkali tak dibarengi dengan ketersediaan alat kesehatan, seperti keterbatasan ketersediaan reagen untuk pengetesan HIV yang terjadi beberapa bulan terakhir.
"Yang penting ada reagen. Daripada penanganan sudah baik tiba-tiba terkendala dengan [tidak ada reagen] itu artinya tidak mencapai sasaran." (*)
*Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.
![[BAGIAN KELIMA] Strategi Pelayanan di Tengah Pandemi](https://asset.tribunnews.com/Py7-b0CZ2d9U5dpMr_3QO6D604c=/1200x800/filters:upscale():quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papua/foto/bank/originals/09122021-aids.jpg)