ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sejarah PKI

Kisah Orang-orang Buangan Pasca-tragedi September 1965

Mahasiswa program ikatan dinas pengiriman era Soekarno paruh 1961-1965 awal, seperti Soesilo Toer, mengalami tragedi kemanusian yang sangat tragis.

Tribun-Papua.com/Kompas.com
Penulis, Soesilo Toer saat ditemui di rumahnya di Blora, Jawa Tengah, Senin (5/4/2021). Ia mendirikan perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa ) terinspirasi dari keinginan sang kakak yang ingin mengembangkan literasi di Blora.(KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO) 

Loyal terhadap Soekarno, sebagian kecil pro PKI, mereka ogah mengakui rezim Soeharto. Konsekuensinya, paspor para mahasiswa ikatan dinas ini tidak bisa diperpanjang.

Jadilah mereka stateless alias tidak memiliki berkewarganegaraan. Tunjangan biaya hidup pun dihentikan. 

Keluarga di tanah air diawasi oleh aparat. Surat-surat yang mereka kirim kepada sanak saudara dan kerabat di tanah air disensor dan dirampas aparat.

Ada yang kembali dengan “selamat” ke tanah air setelah melalui screening ketat. Yang tidak “bersih diri” seperti Soesilo Toer harus mendekam di penjara.

Soesilo dianggap "tidak bersih" karena bersaudara kandung dengan Pramoedya Ananta Toer.

Kajian keilmuan politik dan ekonomi yang dipelajari Soesilo di Uni Soviet, dianggap Orde Baru bisa mengganggu stabilitas dan keamanan saat itu.

Sudah galib di masa Soeharto berkuasa, dosa sebagai kaum “kiri” ditimpakan baik ke garis keturunan atas, bawah, samping kanan dan kiri. 

Baca juga: Sarwo Edhi Wibowo dan Perannya dalam Penumpasan G30S PKI, Diperintahkan Soeharto?

Usai menempuh pendidikannya di pascasarjana University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Plekhanov, Soesilo yang sampai sekarang masih fasih berbahasa Rusia, Jerman, Belanda dan Inggris ini kembali ke tanah airnya pada 1973.

Begitu menginjakkan kaki di Bandara Kemayoran, Jakarta, ia langsung ditangkap aparat dan dihukum penjara tanpa persidangan (Kompas.com, 4 Juni 2018).

Berbeda dengan Pramoedya yang ditahan selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru, Soesilo yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan IKIP Jakarta ini “hanya” mendekam selama 6 tahun di penjara.

Rumah kelahiran Pramoedya Ananta Toer merangkap Perpusatakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) kini dikelola Soesilo Toer, adik Pramoedya, bersma istri dan anaknya.(KOMPAS/ NINUK MARDIANA PAMBUDY)
Rumah kelahiran Pramoedya Ananta Toer merangkap Perpusatakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) kini dikelola Soesilo Toer, adik Pramoedya, bersma istri dan anaknya.(KOMPAS/ NINUK MARDIANA PAMBUDY) (Tribun-Papua.com/Kompas.com)

Selepas penjara

Selepas dari penjara, stigma sebagai komunis membuat hidup Soesilo terkucil dan dibenci warga sekitar. Selain terus mendapat pengawasan dari aparat keamanan, Soesilo juga sulit mendapat pekerjaan.

Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan. Tidak hanya Soesilo, adik-adik Pramoedya yang lain seperti Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer juga dijebloskan ke penjara karena dituding antek komunis.

Hanya Soesetyo Toer yang berhasil selamat dari tangkapan aparat karena kabur ke Papua.

Berganti identitas dan melupakan keluarga menjadi cara aman dari kejaran aparat.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved