ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sosok

Kisah Soedanto Dokter Seribu Rupiah, 46 Tahun Mengabdi di Papua

FX Soedanto akrab disapa Dokter Seribu Rupiah di Papua karena tiap kali merawat pasiennya Soedanto memasang biaya yang sangat terjankau

Penulis: Calvin Louis Erari | Editor: Gratianus Silas Anderson Abaa
Tribun-Papua.com/ Calvin
Dokter Seribu Rupiah, Fransiskus Xaverius Soedanto, saat diwawancarai di ruang prakteknya oleh Tribun-Papua.com di Jayapura, Papua, Jumat (21/1/2022). 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Calvin Louis Erari

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Fransiskus Xaverius Soedanto akrab disapa Dokter Seribu Rupiah di Papua.

Sematan Dokter Seribu Rupiah diberikan karena tiap kali merawat pasiennya, Soedanto memasang biaya yang sangat terjangkau.

Di 2022 ini, genap sudah 46 tahun Dokter Seribu melayani di Papua.

Sejak tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 1975, Soedanto mendaftar program Dokter Inpres dan dinyatakan lulus di tahun yang sama.

Soedanto muda langsung ditempatkan di Asmat, Irian Jaya, atau sekarang disebut Papua.

"Begitu SK Gubernur keluar 1975, saya ke Asmat dan jadi dokter di rumah sakit peninggalan Belanda," tutur pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, itu.

Baca juga: Kisah Husnan Perantau Senior Asal Madura: Saya Sudah 10 Gubernur Hidup di Papua

Terhitung, 6 tahun Soedanto melayani masyarakat di Asmat.

Berjalan kaki masuk – keluar hutan dan rawa, Soedanto mengecek kesehatan masyarakat dari satu kampung ke kampung lainnya.

Bahkan, saat melalui luasnya hutan Asmat untuk menjangkau para pasien, Soedanto hanya mengkonsumsi makanan seadanya.

"Saya hanya makan sagu dan ikan, sebab tidak ada sayur di sana, karena daerahnya rawa," ujarnya.

Tapi, selama di Asmat, saya tidak sendiri. Saya ditemani beberapa tenaga medis masyarakat asli di sana," terang Soedanto kepada Tribun-Papua.com, di Jayapura, Jumat (21/01/2022).

Baca juga: Dokter Penyakit Dalam Ditambah, Direktur RSUD Merauke: Ada Penambahan Jam Layanan

Soedanto menceritakan masyarakat Asmat hidup dengan nilai budaya yang kental, bahkan mereka masih memakai pakaian dari rumput.

“Selama melayani, banyak masyarakat tak mampu. Mereka hanya membayar dengan sagu, ataupun kayu bakar dari hutan," katanya.

Inilah cerita awal Dokter Seribu Rupiah, yakni memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan tidak memasang tarif tinggi.

Sumber: Tribun Papua
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved