Fakta Baru terkait Kasus Kerangkeng Manusia, Penghuni Dipekerjakan selama 10 Jam
Kembali ditemukan fakta baru terkait kasus kerangkeng manusia di bagian belakang rumah Bupati nonaktif Langkat.
TRIBUN-PAPUA.COM - Kembali ditemukan fakta baru terkait kasus kerangkeng manusia di bagian belakang rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin.
Diketahui, fakta itu terungkap setelah Tim Peduli Buruh Sumatera Utara (PBSU) mendatangi lokasi yang berada di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala.
Selain Tim PBSU, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga melakukan hal yang sama.
Kedua menenukan bahwa keluarga tak menuntut jika penghuni kerangkeng sakit atau meninggal dunia.
Baca juga: Viral Video Tukang Bakso Pura-pura Jatuh agar Ditolong dan Dikasihani Warga, Ini Kata Polisi
Baca juga: Menganggap seperti Orangtua Sendiri, Remaja 16 Tahun Malah Dirudapaksa oleh Paman dan Bibi

Selain itu kerangkeng yang disebut untuk reabilitasi narkoba tersebut tidak mendapatkan izin dari BNN, tarmasuk dari Badan Narkotika Kabupaten.
Keberadaan kerangkeng untuk manusia tersebut diketahui setelah Terbit Rencana ditangkap KPK.
Sebelum ditangkap, Terbit sempat mengatakan kerangkeng tersebut adalah tempat rehabilitasi narkoba yang ada sejak 10 tahun lalu.
Berikut 7 fakta baru kerangkeng di rumah pribadi Terbit Rencana:
1. Keluarga Tandatangani Surat Pernyataan
LPKS menyebut pihaknya mendapatkan informasi jika keluarga menandatangani surat pernyataan saat menyerahkan anggota keluarga ke Terbit Rencana.
Surat pernyataan tersebut berisi keluarga tak boleh menjemput penghuni selama batas waktu yang ditentukan.
Selain itu, pihak keluarga tak akan menuntut jika anggota keluarga mereka sakit atau meninggal dunia.
Surat bermeterai itu ditandatangani oleh pengurus sel dan pihak keluarga penghuni kerangkeng.
LPSK mengatakan petunjuk tersebut mengarah ke perdagangan orang.
Baca juga: Kecelakaan Maut Mobil Tabrak Tumpukan Batu hingga Belakang Truk, 6 Orang Penumpang Tewas di TKP
2. Dipekerjakan selama 10 Jam
Temuan lain adalah para penghuni yang direhabilitasi di kerangkeng tersebut diduga dipekerjakan di pabrik kelapa sawit PT DRP milik Terbit Rencana.Saat bekerja, penghuni hanya diberi makan tambahan puding untuk snack atau minuman tambahan.
Selain itu selama bekerja, para penghuni tidak didaftarkan sebagai peserta PBJS Kesehatan dan Ketenagajerjaan.
3. Ada Penghuni yang Meninggal
LPSK mengatakan pada tahun 2019 ada penghuni kerangkeng yang meninggal dunia. Saaat keluarga menjemput, jenazah penghuni tersebut sudah dimandikan dan dikafani.
Jenazah tersebut juga sudah siap dikebumikan. Kepada keluarga, penjaga menyebut penghuni tersebut meninggal karena sakit asam lambung.
Namun pihak keluarga mencurigai ada kejanggalan terkait kematian tersebut.
Sementara itu Komnas HAM menemukan lebih dari 1 orang yang meninggal dunia akibat penganiayaan di kerangkeng Bupati Langkat.
Fakta tersebut diperoleh dari pengakuan dna testimoni sejumlah orang yang diyakini melihat kejadian tersebut.
Korban yang dianiaya biasanya baru masuk kerangkeng selama empat sampai enam pekan pertama. Penganiayaan dilakukan karena korban melawan.
4. Tak Semua Penghuni Pengguna Narkoba
Informasi yang didapatkan, walau disebut rehabilitasi pengguna narkoba, ternyata tak semua penghuni kerangkeng adalah pecandu dan berasal dari Kabupaten Langkat.
Di lokasi tersebut tak ada aktivitas rehabilitas dan tempat tinggal yang digunakan tidak layak. Dalam ruangan ukuran 6x6 dihuni 20 orang dan sanitasi ruangan yang buruk.
Para penghuni juga tinggal di dalam kerangkeng dalam keadaan terkunci. Kegiatan peribadatan juga dibatasi. Mereka tidak diperbolehkan ibadah Jumat, ibadah Minggu serta merayakan hari-hari besar keagaan lainnya.
LPSK juga menyebut ada dugaan pungutan dan batas waktu penahahan selama 1,5 tahun. Namun kenyataannya ada yang ditahan hingga 4 tahun.
Bahkan LPSK juga meyebut diduga ada sel yang ketiga yang dimiliki Bupati Langkat.
5. Kode "dua setengah kancing"
Diduga saat kekerasan terjadi di kerangkeng, ada istilah atau kode yang digunakan.
Antara lain kode mos dan das, hingga dua setengah kancing.
Dua setengah kancing diduga menjadi kode pemukulan yang diarahkan ke area tubuh, khususnya area dada atau ulu hati.
Istilah dua setengah kancing sangat identik dengan kekerasan yang kerap terjadi pada perploncoan yang dilakukan senior terhadap junior.
Dua Setengah Kancing berarti sasaran pukulan pada titik tubuh seseorang. Jika orang yang dijadikan sasaran mengenakan kemeja, dua setengah kancing menunjukan titik ulu hati.
Pukulan ke ulu hati bisa menyebabkan seseorang pingsan bahkan tewas. Banyak kasus kematian junior akibat diploco seniornya.
Baca juga: Cemburu Buta, Pria di Sumedang Masak Air hingga Mendidih Lalu Siramkan ke Istri yang sedang Tidur
6. KPK Fasilitasi Komnas HAM Periksa Bupati Langkat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempersilahkan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memeriksa Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin terkait kasus kerangkeng manusia.Agenda pemeriksaan oleh Komnas HAM dipastikan tidak akan mengganggu proyes penyidikan yang berlanngsung di KPK.
Terkait rencana pemerikaan Terbit Rencana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya akan mengundang ahli untuk mendalami kasus tersebut.
7. Pekerja Kebun adalah Warga yang Pernah Ditahan
Suparman Perangin-angin yang menyebut dirinya sebagai pengawas/pembina warga yang ditahan di kerangkeng manusia milik Terbit Perangin-angin tersebut membantah adanya perbudakan.
Ia mengatakan penghuni kerangkeng dibina berdasarkan keahliannya mereka. Beberapa juga bekerja sebagai sopir, tukang angkut sawit atau karyawan lain.
"Tapi itu sudah digaji nanti kalau sudah jadi 'alumni'," kata Suparman.
Ia juga membenarkan jika karyawan di kebun dan perusahaan sawit milik Terbit sebagian besar adalah warga yang ditahan.
Suparman juga mengaku pernah tinggal di kerangkeng pada tahun 20220-2021 karena kejahatan berjudi. Ia kemudian ditunjuk menjadi pengawas.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul 7 Fakta Baru Kerangkeng di Rumah Bupati Langkat, Salah Satunya Penghuni Kerja 10 Jam Tanpa Diupah