ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Soal Pemekaran di Papua, Amnesty Internasional: Bertolak Belakang dengan Kebijakan Moratorium DOB

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional mempertanyakan keputusan pemerintah karena pemekaran wilayah bukan kebijakan sembarangan, apalagi di Papua.

Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (tengah) 

TRIBUN-PAPUA.COM - Pencana pemekaran wilayah Papua sudah disahkan di Badan Legislatif DPR RI sebagai rancangan undang-undang (RUU) inisiatif DPR.

Akan ada tiga provinsi baru di Papua yakni Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan.

Kendati demikian, rencana pembentukan tiga provinsi baru itu hingga kini masih dipertanyakan sejumlah pihak.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mempertanyakan keputusan pemerintah karena pemekaran wilayah bukan kebijakan sembarangan, apalagi di Papua.

Baca juga: Sebut Pemkaran Papua Bukan Aspirasi Rakyat, MRP: Elite Lokal dan Jakarta Duduk atas Nama Orang Papua

"Ingat, pemekaran wilayah terhadap Papua ini bertolak belakang dengan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang sedang memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonom baru (DOB)," kata Usman dalam diskusi virtual yang dihelat Public Virtue Institute, Kamis (14/4/2022)

"Pemerintah beralasan pembentukan DOB selama ini tidak mendatangkan PAD (pendapatan asli daerah) tinggi. Kedua, dana operasional pembentukan DOB tidak lagi tersedia memadai. Ketiga, dana negara sedang dialokasikan untuk penanggulangan wabah dan prioritas infrastruktur kesehatan dan pendidikan," jelasnya.

Urgensi pembentukan 3 provinsi baru di Papua kian dipertanyakan karena upaya ini bukan usul orang asli Papua (OAP), melainkan keputusan sepihak Jakarta.

Dalam membuat RUU pembentukan 3 provinsi baru ini, DPR RI juga tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara sebagai representasi kultural OAP.

Baca juga: Soal Pemekaran Papua, John Gobay: Pemda Punya Kewenangan, Bukan Hanya Pemerintah Pusat!

MRP juga memastikan, pembentukan 3 provinsi baru ini bukan aspirasi rakyat Papua di kalangan akar rumput yang justru menolak rencana ini.

DPR RI juga pada 2021 merevisi untuk kali kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, membuat pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih dapat diambil Jakarta tanpa melibatkan MRP.

"Secara keseluruhan kalau kita lihat di skala nasional memang tengah terjadi pemusatan kembali kendali pemerintahan daerah ke tangan pemerintahan pusat," kata Usman.

Ketua MRP Timotius Murib menyatakan, masih banyak pekerjaan rumah di Tanah Papua yang penting untuk diselesaikan pemerintah.

Masih ada problem politik, pelanggaran hak asasi manusia, konflik sosial terkait batas tanah adat, masalah kesejahteraan dan akses kesehatan, diskriminasi, hingga peminggiran warga lokal yang perlu dicarikan solusinya.

Baca juga: Kritik Pemekaran Wilayah Papua, Pakar: Diciptakan Negara, Dimanfaatkan oleh Para Elite

Timotius berpendapat, pemekaran wilayah bukan jawaban atas permasalahan kompleks semacam itu, sementara Jakarta terkesan menyederhanakan persoalan di Papua dengan satu jawaban yakni pemekaran wilayah.

"Pemekaran itu baik, pemekaran kampung, distrik, kabupaten, provinsi. Itu biasa. Tapi bukan sekarang. Perbaiki dulu situasi kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, kesehatan dan lain-lain di Papua, di 28 kota dan kabupaten," ungkap Timotius dalam kesempatan yang sama.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved