Pemekaran Papua
Benarkah Megawati Tak Setuju Pemekaran Tiga Provinsi Baru di Papua? Begini Kata Peneliti BRIN
Pro kontra pemekaran tiga provinsi baru di Papua semakin tajam, meski RUU pemekaran wilayah itu telah disahkan DPR. Megawati disebut justru menolak.
TRIBUN-PAPUA.COM – Pro kontra pemekaran tiga provinsi baru di Papua semakin tajam, meski RUU pemekaran wilayah itu telah disahkan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Terbaru, Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Megawati Soekarnoputri disebut tak setuju terhadap rencana pemekaran wilayah, termasuk pembentukan tiga provinsi baru di Papua.
“Ketua Dewan Pengarah BRIN, Ibu Megawati Soekarnoputri sudah menyampaikan beliau mengkritik Mendagri terkait kebijakan pemekaran,” kata peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan (P2W) BRIN Cahyo Pamungkas dalam diskusi daring yang dihelat Public Virtue Institute, Rabu (27/4/2022).
Baca juga: Pemekaran 3 Provinsi di Papua Dikhawatirkan Perburuk Situasi Kemanusiaan
“Beliau juga secara implisit, secara tidak langsung, belum mendukung, atau tidak mendukung pembentukan daerah otonom baru di Provinsi Papua,” ucap dia.
Cahyo menyebut, ungkapan Megawati itu terlontar pada 20 April 2022.
Ketua Umum PDI-Perjuangan itu bahkan meminta lembaga riset yang ia nakhodai itu untuk menindaklanjutinya dengan penelitian.
“Beliau meminta BRIN melakukan riset perlu atau tidaknya pemekaran, terutama potensi perkembangan daerah,” ujar Cahyo.
Sebelumnya, DPR RI mengesahkan rencana pembentukan tiga provinsi di Papua.
Antaralain Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Selatan, sebagai tiga rancangan undang-undang (RUU) inisiatif parlemen.
Pemekaran ini dianggap mencederai demokrasi dan pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Papua karena dilakukan dengan mengutak-atik mekanisme serta tidak melibatkan orang Papua itu sendiri.
Pertama, rencana ini diawali dengan revisi kedua atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
Baca juga: Mahfud MD Klaim 82 Persen Rakyat Papua Ingin Pemekaran, MRP: Hentikan Sampai Ada Putusan MK
Melalui revisi kedua itu, ada berbagai pasal yang diubah DPR, membuat otonomi di Tanah Papua justru terbonsai.
Revisi ini dianggap membuat kebijakan-kebijakan otsus justru mengalami resentralisasi ke Jakarta, salah satunya adalah revisi soal pasal pemekaran wilayah.
Melalui revisi kedua itu, DPR menetapkan bahwa pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih bisa dilakukan sepihak oleh Jakarta, dari yang sebelumnya harus atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Kemudian, pembentukan tiga RUU pemekaran wilayah di Papua juga sama tidak partisipatifnya dengan revisi kedua UU Otsus yang mengabaikan keberadaan MRP dkk sebagai lembaga negara representasi kultural orang Papua.
Presiden Joko Widodo juga disebut meminta agar pelaksanaan UU Otsus yang sudah dua kali diubah itu agar dievaluasi.
Itu setelah Presiden menerima masukan dan kritik dari delegasi MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) serta Amnesty International pada Senin (25/4/2022) di Istana Negara.
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Desak DPR Tunda Pemekaran Wilayah, Begini Jawaban Sufmi Dasco Ahmad
“Ada dua poin penting pertemuan dengan Presiden. Pertama, tentang keterbukaan Presiden melakukan evaluasi lebih jauh terkait dengan pelaksanaan perubahan kedua Undang-undang Otsus (Otonomi Khusus),” kata Direktur Eksekutrif Amnesty International Usman Hamid dalam kesempatan yang sama, Rabu.
“Kedua, yang juga penting dalam pertemuan dengan Presiden, pimpinan Dewan, dan pimpinan partai-partai politik, adalah berkaitan dengan rencana pemekaran Papua,” kata dia. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Megawati Disebut Tak Setuju Pembentukan Tiga Provinsi Baru di Papua",