Hanya di Papua
LIPSUS: PETA, Tradisi Masyarakat di Papua dalam Merawat Kerukunan Hidup Beragama
PETA atau Pegang Tangan menjadi tradisi masyarakat Papua dalam memupuk persaudaraan, menjaga kerukunan antarumat beragama di Bumi cenderawasih.
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – PETA sudah menjadi tradisi seluruh masyarakat di Papua.
Kalau tradisi Indonesia di wilayah barat umumnya adalah mudik (mulih dilik), maka di wilayah timur adalah PETA.
PETA adalah akronim dari Pegang Tangan yang bermakna bersalaman atau bersilaturahmi.
Di Papua, PETA dilakukan saat Natal dan Lebaran Idulfitri.
Saat Natal, umat Muslim maupun umat beragama lainnya bersilaturahmi ke umat Kristiani yang merayakan hari kelahiran Isa Almasih/Yesus Kristus.
Saat Lebaran, giliran umat Kristiani maupun umat beragama lainnya yang bersilaturahmi ke umat Muslim, ikut merayakan hari kemenangan setelah 30 hari lamanya menjalani ibadah puasa Ramadan.
Tradisi PETA sudah dilakukan sejak lama di Papua
Tradisi ini terpaksa sempat rehat sejenak karena badai pandemi menghantam Indonesia, yakni pada 2020 dan 2021.
Kala itu, pemerintah melarang warga berkumpul karena dapat menjadi pemicu penularan Corona Virus Desease 2019, atau yang akrab disebut Covid-19.
Secara tak langsung, PETA termasuk dilarang.
Baca juga: Momen Idulfitri, Ini Pesan Presiden Joko Widodo
Baca juga: Open House Terakhir di Masa Jabatan, Rustan Saru: Mohon Maaf Lahir dan Batin
Kini, seiring dengan kebangkitan Indonesia melawan Covid-19, tradisi Lebaran seperti halnya mudik, diizinkan pemerintah dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) ketat.
Lantas, PETA juga ikut diperbolehkan pemerintah daerah di Papua.
Benhur Tomi Mano menjadi kepala daerah pertama di Papua yang mengizinkan tradisi ini kembali dilakukan tahun ini.
Namun, tetap dibatasi hanya untuk sanak famili.
