ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Pemilu 2024

Gibran Rakabuming, Kaesang dan Slogan PSI: 'Jokowi Is Me' Langkah Pembusukan Politik

Di negara demokrasi, personalisme ada salah satu tanda utama pembusukan politik. Gibran Rakabuming masuk dalam gelanggang kontestasi pilpres 2024.

Tribun-Papua.com/Istimewa
Presiden Joko Widodo (tengah) berfoto bersama Ketua Umum PSI Giring Ganesha (kedua kanan), Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie (kedua kanan), Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni (kanan) dan para kader PSI saat perayan HUT ke-8 Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Jakarta, Selasa (31/1/2023). HUT ke-8 PSI yang diisi dengan Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) 2023 itu mengusung tema ''Menang Pasti Menang''.(Antara Foto/Hafidz Mubarak A) 

Oleh: Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia

====

LANGKAH Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadikan Kaesang Pangarep sebagai ketua umum partai adalah keputusan yang cerdas secara politis, namun menyedihkan secara demokratis.

Keputusan tersebut membuka kemungkinan partai ini melewati ambang batas parlemen empat persen.

Namun keputusan politik tersebut menunjukkan pragmatisme politik dan berlawanan dengan semangat egalitarianisme yang diusung mereka.

Langkah cerdas PSI

Beberapa survei menunjukkan PSI terancam tidak masuk ke Senayan dalam pemilu 2024.

Elektabilitas PSI dalam survei Kompas pada Juni 2022, sebesar 0,7 persen.

SMRC merilis hasil yang lebih rendah pada Desember 2022: 0,5 persen.

Sementara itu, LSI Denny JA menyampaikan hasil survei (7/2/2023) bahwa PSI mendapat 0,5 persen.

Artinya, tiga lembaga survei yang berbeda sama-sama melihat perolehan suara PSI jauh di bawah ambang batas parlemen 4 persen.

Baca juga: Gibran Rakabuming: Dulu Dibesarkan PDIP dan Ngaku Tegak Lurus, Kini Berpaling dari Mega

Langkah zig zag politik PSI yang pada Oktober 2022, mengusulkan Ganjar Pranowo sebagai bakal capres, lalu menerima Prabowo Subianto di kantor DPP PSI pada 2 Agustus 2023, yang diikuti dengan mencabut dukungan kepada Ganjar karena mencermati nasihat Presiden Jokowi untuk tidak buru-buru menentukan capres yang akan didukung (23 Agustus 2023), membuat sebagian pemilihnya bingung.

Sejumlah orang muda kelas menengah perkotaan yang selama ini menjadi pendukung PSI dan mengetahui rekam jejak Prabowo, merasa kecewa dan mempertanyakan langkah zig zag PSI, khususnya ketika menerima Prabowo di kantor DPP.

Kritik dan kekecewaan tersebut mendorong pengurus PSI, yang banyak diwakili Grace Natalie, menyampaikan klarifikasi-klarifikasi melalui media sosial PSI.

Dengan hasil survei elektabilitas PSI di bawah empat persen dan kekecewaan sebagian pendukungnya, sulit bagi PSI untuk lolos ke parlemen jika tidak ada langkah signifikan.

Di sinilah keputusan untuk menjadikan Kaesang sebagai ketua umum menjadi penting. Keputusan tersebut cerdas secara politik.

Untuk partai-partai nasionalis, ketua umum partai menjadi magnet electoral partai (Litbang Kompas, 8 Agustus 2022).

Dalam survei tersebut dijelaskan, parpol nasionalis/non-agama yang sudah mapan rata-rata memiliki figur kuat sebagai magnet politik terbesar bagi pemilih.

Jika partai nasionalis yang mapan saja bertumpu pada figur ketua umum yang kuat, apalagi PSI yang terancam tidak lolos ambang batas parlemen.

Kaesang, anak Jokowi, punya popularitas dan diharapkan menjadi magnet electoral bagi PSI.

Maka seperti yang disebutkan Kaesang sendiri dalam pidatonya sebagai ketua PSI, Kaesang ingin meloloskan PSI ke Senayan.

Harapan tersebut realistis. Kaesang adalah anak Jokowi. Masyarakat Indonesia puas dengan pemerintahan Jokowi.

Dengan menjadikan Kaesang ketua umum, PSI ingin menarik suara pendukung Jokowi.

Tidak heran Kaesang tanpa ragu meminta dukungan relawan Jokowi ke PSI.

Jokowisme sebagai personalisme

PSI punya hak untuk menjadikan Kaesang sebagai ketua partai. Apalagi jika Kaesang membantu PSI untuk meloloskan caleg-calegnya ke Senayan.

Namun mengapa Kaesang? Jelas, karena dia anak Presiden Jokowi.

Maksudnya, keputusan tersebut tidak lepas dari keberadaan Jokowi yang menjadi magnet politik dan kekuasaan saat ini.

Jokowi, harus diakui, adalah anomali.

Jika para politisi lazim merasakan menang dan kalah dalam kontestasi politik, Jokowi tidak pernah kalah.

Dua kali menang dalam Pilkada Solo, menang dalam Pilkada Jakarta, dan dua kali menang dalam pemilu presiden.

Padahal, dia bukan elite partai. Juga tidak punya latar belakang militer.

Baca juga: Dampingi Ganjar di Pilres 2024, Mahfud Dinilai Bisa Atasi Persaingan Politik-Bisnis yang Tidak Adil

Di tengah sistem demokrasi multi partai, ia berhasil mengonsolidasikan mayoritas kekuatan partai di parlemen sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan tanpa gangguan oposisi yang berarti.

Di tengah dunia yang resesi, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen.

Ia punya executive tool box istimewa, sehingga proyek-proyek strategis yang besar, seperti pemindahan ibu kota ke Kalimatan, hilirisasi nikel, bisa berjalan nyaris tanpa penolakan.

Di tengah teori kutukan periode dua, di mana hampir semua pemimpin politik di periode kedua pemerintahannya mengalami penurunan dukungan publik, survei LSI menunjukkan tingkat dukungan masyarakat mencapai 82 persen, tertinggi sepanjang sejarah.

Daftar kehebatan dan anomali Jokowi bisa ditambah tetapi cukup dikatakan, ia seperti raja midas politik, apa yang disentuhnya berubah menjadi emas.

Karena keistimewaannya, Andy Budiman- salah satu pimpinan PSI- menyebut Jokowi sebagai metafora "Indonesian dream": di negeri ini siapa pun bisa memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi apa pun asal bersedia belajar dan bekerja keras.

Menurut dia, Jokowi berhasil menghidupkan esensi demokrasi: memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk berkembang dan mengembangkan kemampuan terbaik dari diri mereka (Kompas, 21 Juni 2023).

Andy bahkan menyebut kepemimpinan Jokowi ibarat "isme" baru: Jokowisme.

Belakangan, para petinggi PSI memakai kaos bertuliskan "Jokowi is me".

Menurut penulis, keputusan menjadikan Kaesang sebagai ketua umum PSI ibarat tusukan belati ke jantung idealisme PSI yang menjunjung tinggi egalitarianisme dan keadilan.

Alasan untuk menjadikan Kaesang sebagai ketua umum PSI karena Kaesang merepresentasikan Jokowi atau menghidupi Jokowisme adalah keliru.

Dalam politik, tidak selalu berlaku “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Menganggap Kaesang sebagai representasi Jokowi adalah cara berpikir tidak rasional. Itu cocok dengan semangat zaman feodal.

Namun penulis mengerti.

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) saat menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tiga Pilar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Tangerang, Banten, Sabtu (16/12/2017). Acara yang dihadiri ribuan kader PDIP se-Indonesia itu mengusung tema Berdikari Untuk Indonesia Raya yang berlangsung dari tanggal 16 - 17 Desember 2017.
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) saat menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tiga Pilar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Tangerang, Banten, Sabtu (16/12/2017). Acara yang dihadiri ribuan kader PDIP se-Indonesia itu mengusung tema Berdikari Untuk Indonesia Raya yang berlangsung dari tanggal 16 - 17 Desember 2017. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
Rasanya, PSI mengalami personalisme karena menjadikan Jokowi sebagai patron tanpa reserve.

Personalisme ini menjadi gejala di banyak negara demokrasi (Kendall-Taylor, 2017).

Ciri utamanya, konsentrasi kekuasaan ada pada pemimpin; pengaruh dan kemandirian partai politik berkurang karena aktor-aktornya berkiblat pada pribadi pemimpin.

Selain itu, arah dan praktik politik merefleksikan preferensi pemimpin dari pada proses negosiasi, kontestasi dan kompromi politik aktor-aktornya.

Baca juga: Mahfud MD Resmi Ditunjuk Dampingi Ganjar Pranowo di Pilpres 2024: Berikut Prestasi Sang Profesor

Menurut Wright (2021), personalisme ini adalah erosi demokrasi dan menghasilkan polarisasi politik sebab arah dan praktik politik bertumpu pada pribadi penguasa, bukan pada nilai, sistem atau struktur demokrasi.

Sejatinya, PSI tepat merumuskan nilai kepemimpinan Jokowi sebagai Jokowisme. Sayang mereka mengartikulasikannya secara keliru.

Alih-alih menjadikan nilai kepemimpinan Jokowi sebagai nilai partai, mereka jatuh pada personalisme Jokowi: menjadikan Jokowi sebagai aku ("Jokowi is me").

Di negara demokrasi, personalisme ada salah satu tanda utama pembusukan politik.

Sedihnya, pembusukan tersebut semakin kentara belakangan ini dengan akrobat politik Mahkamah Konstitusi, lalu dilanjutkan dengan skenario yang belakangan ini semakin jelas: Gibran Rakabuming masuk dalam gelanggang kontestasi pilpres 2024. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Jokowi is Me" sebagai Pembusukan Politik",

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved