Hari Pers Nasional
Kisah Marco Kartodikromo, Jurnalis yang Menghantui Pemerintah Belanda: Dibuang ke Boven Digoel Papua
Pada 1926, Marco Kartodikromo sempat terlibat dalam pemberontakan yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia.
Penulis: Paul Manahara Tambunan | Editor: Paul Manahara Tambunan
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Tulisan pedas dan menohok dalam pemberitaan selalu membuat pemerintah Hindia Belanda berang di masa penjajahan.
Kritik itu pula kerap dilancarkan jurnalis Marco Kartodikromo selama aktif menulis di Pulau Jawa.
Itu berlangsung di masa keemasan pendudukan Belanda di Tanah Air Indonesia.
Ia selalu menjadikan tulisan sebagai peluru yang tak terkendali.
Sasarannya adalah para oligarkhi hingga pemerintah yang dianggap menyengsarakan rakyat kala itu.
Mas Marco, sapaan akrabnya, adalah penulis dan jurnalis Indonesia yang berasal dari Cepu, Blora.
Jurnalis yang sempat digembleng Tirto Adi Suryo itu juga menulis beberapa potongan untuk novel fiksi.
Baca juga: Hari Pers Nasional 2024, Triwarno Purnomo: Jurnalis Junjung Tinggi Profesionalitas
Beberapa buku yang Marco Kartodikromo ciptakan dilarang untuk terbit oleh Belanda, karena tulisan kritiknya tersebut.
Pada 1926, Marco Kartodikromo sempat terlibat dalam pemberontakan yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia.
Karena gagal, ia akhirnya ditangkap dan dipenjara di kamp Boven-Digoel di Papua.
Marco kemudian meninggal di kamp tersebut karena penyakit malaria tahun 1932.
Perjalanan Hidup
Marco Kartodikromo lahir di Blora, 1890. Lahir dari golongan keluarga priyayi berpangkat rendah, ayahnya hanya bekerja sebagai kepala desa.
Oleh sebab itu, Marco tidak menjalani pendidikan formal terlalu lama karena ia harus mengambil kursus privat bahasa Belanda.
Sewaktu berusia 15 tahun, Marco sudah mulai bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg, perusahaan kereta api nasional Hindia Belanda di Semarang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.