ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Nasional

Intip Kekuatan Udara TNI AU, Drone 'Game Changer'

Pesatnya penggunaan drone tentu perlu dicermati oleh pemerintah dan TNI Angkatan Udara, terutama di dalam membangun postur kekuatan alutsista.

Editor: Lidya Salmah
Kompas.com
Ilustrasi drone.(SHUTTERSTOCK) 

TRIBUN-PAPUA.COM- Kehadiran drone saat ini tak lagi hanya sekedar sebagai alat pengintai semata, tetapi sudah menjadi alat bantu militer dalam melancarkan serangan udara.

Apalagi, sejak sejak konflik antara Rusia dan Ukraina, serta yang terbaru antara Iran dan Israel, menjadi panggung hadirnya pesawat tanpa awak atau drone di dalam era peperangan modern. 

Pesatnya penggunaan drone tentu perlu dicermati oleh pemerintah dan TNI Angkatan Udara, terutama di dalam membangun postur kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) demi mengamankan wilayah kedaulatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam serangan yang terjadi pada 14 April 2024 lalu itu, tak kurang dari 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah yang digunakan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) untuk melakukan serangan balasan terhadap Israel.

Serangan ini dilakukan usai Israel diduga menyerang konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan 13 orang, termasuk Mayor Jenderal Mohammad Reza Zahed.

Dalam kurun waktu lima jam usai ditembakkan, drone, rudal balistik dan rudal jelajah mulai masuk ke wilayah udara Israel usai menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 1.800 kilometer.

Beruntung, negara yang dipimpin Perdana Menteri Benyamin Netanyahu ini memiliki sistem pertahanan udara Iron Dome, yang diklaim berhasil menghalau 99 persen serangan tersebut.

Keberhasilan Israel dalam menghalau serangan itu juga tidak terlepas dari bantuan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang menembak jatuh rudal-rudal dan drone Iran sebelum memasuki perbatasan.

Selain itu, Yordania juga turut menembak jatuh beberapa rudal Iran yang menerobos wilayah udaranya.

Israel sendiri mengklaim bahwa serangan yang disebut IRGC sebagai "Operation True Promise" itu hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur minor. Meskipun dalam sejumlah pemberitaan media massa menunjukkan bahwa beberapa fasilitas militer Israel mengalami kerusakan.

Al Jazeera bahkan melaporkan bahwa serangan itu berhasil membuat sirene serangan udara di 720 lokasi meraung-raung.

Serta, terdengar sejumlah ledakan di seluruh kota-kota Israel, termasuk Tel Aviv dan Yerusalem.

Dalam video online yang dibagikan televisi pemerintah Iran, drone yang digunakan bergaya sayap delta yang menyerupai Shahed-136. Drone yang sama yang juga digunakan Rusia saat menghadapi Ukraina.

Shahed-136 atau yang dikenal Rusia sebagai Geran-2, merupakan drone ringan yang dirancang sebagai loitering munition, atau disebut juga drone kamikaze atau drone bunuh diri.

Drone buatan industri manufaktur pesawat terbang Iran, HESA, ini memiliki panjang 3,5 meter dan sayap selebar 2,5 meter.

Dengan kecepatan maksimum 185 kilometer per jam dan berat 200 kilogram, drone ini bisa memuat bahan peledak seberat 36 kilogram dengan daya jangkau terbang mencapai 2.500 kilometer.

Selain itu, keunggulan dari drone tersebut adalah dapat terbang rendah dan sulit untuk dideteksi.

Sementara itu, militer Ukraina menggunakan drone Bayraktar TB2 buatan Turki, yang merupakan pesawat tempur nirawak (UCAV).

UCAV berjenis medium altitude long endurance (MALE) besutan Baykar, perusahaan pertahanan swasta Turki yang memiliki spesialisasi dalam UAV dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini, dapat diterbangkan dan dikendalikan dari jarak jauh atau otonom.

Berbeda dari Shahed-136 yang memiliki kemampuan kamikaze, Bayraktar TB2 lebih banyak digunakan untuk pengintaian dan surveilans untuk menemukan keberadaan musuh, memantau pergerakannya, hingga memandu tembakan artileri pertahanan ke arah mereka.

Baca juga: VIRAL Drone Diterbangkan di Gunung Merbabu, Otoritas Taman Nasional Angkat Suara

Jenis drone

Jika dilihat dari dua drone yang digunakan dalam dua pertempuran di atas, maka ada beberapa jenis drone yang perlu diketahui.

Berdasarkan NATO Standardization Agreement 4670 yang dikutip Kompas.com di dalam analisis Gede Priana Dwipratama, Analis Pertahanan Negara Ahli Muda Set Ditjen Pothan Kemhan, yang diunggah pada laman resmi Kemhan, setidaknya drone memiliki tiga kelas.

Kelas I memiliki berat kurang dari 150 kilogram, Kelas II memiliki berat antara 150 kilogram hingga 600 kilogram dan Kelas III memiliki berat di atas 600 kilogram.

NATO sendiri masih membagi drone Kelas I ke dalam tiga subkategori yaitu micro, mini dan small.

Sedangkan drone Kelas II atau drone taktis memiliki ketahanan penerbangan sekitar 10 jam dengan jangkauan maksimum antara 100-200 kilometer.

Drone kelas ini juga mampu membawa muatan 70 kilogram dengan kecepatan tertinggi mencapai 200 kilometer/jam.

Umumnya ada sejumlah teknologi yang turut disematkan pada drone kelas ini, mulai dari sensor elektro optic, inframerah, laser penargetan, dan peralatan komunikasi. Selain itu, drone ini juga dilengkapi sistem persenjataan ringan.

Drone Kelas II menggunakan fixed wing sehingga memerlukan landasan pacu kecil untuk meluncurkannya.

Sedangkan drone Kelas III umumnya berupa Medium Altitute Long Endurance (MALE) maupun High Altituted Long Endurance (HALE) dengan kemampuan jelajah 24 jam atau lebih.

Selain dua subkategori di atas, drone Kelas III juga biasanya merupakan drone serang (strike/combat drone).

Sama seperti drone Kelas II, drone Kelas III umumnya menggunakan fixed wing dan dapat beroperasi pada jarak ribuan kilometer atau lebih tergantung pada peralatan komunikasi yang disematkan. Indonesia sendiri sebenarnya sempat membuat MALE drone, Elang Hitam, yang memiliki spesifikasi kombatan.

Pengembangan drone ini dilakukan konsorsium enam lembaga dan PT Dirgantara Indonesia.

Keenam lembaga itu adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, Institut Teknologi Bandung (ITB), PT Dirgantara Indoesia, dan PT LEN Industri (Persero). Namun, riset

Elang Hitam sebagai drone kombatan pada akhirnya dihentikan dan drone ini dialihfungsikan menjadi drone sipil. Game changer Di dalam perkembangannya, drone dinilai telah menjadi game changer di dalam era perang modern, khususnya pertempuran udara.

Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim, aspek penting di dalam sebuah pertempuran udara adalah serangan tiba-tiba atau surprise attack.

Peristiwa Pearl Harbour tahun 1941, di mana pasukan Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang melakukan serangan kamikaze terhadap Armada Pasifik AL Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii menjadi contoh nyata efektifitas surprise attack.

Selang 60 tahun kemudian, AS Kembali mendapatkan surprise attack setelah kelompok al-Qaeda membajak empat pesawat komersial yang hendak terbang ke California pada 11 September 2001.

Dua pesawat di antaranya digunakan untuk menabrak menara kembar World Trade Center (WTC) di New York.

Pesawat ketiga digunakan untuk menyerang Pentagon, sedangkan pesawat keempat jatuh di sebuah pedesaan di wilayah Pennsylvania.

Chappy mengatakan, selama 20 tahun terakhir, tidak ada gagasan baru di dalam pengembangan teknologi jet tempur.

Namun, hal berbeda justru dialami drone yang disebutnya sebagai bagian dari perang siber.

"Sudah terjadi disrupsi di air war. Drone lebih efisien karena bagian dari cyber war, punya AI. Dari AI, dia terangkum dalam sistem komando pengendalian yang satellite base. Orang sering menyebutnya star war, karena terjadinya di luar angkasa. Sekarang orang akan mengandalkan drone untuk menyerang," ucap Chappy dalam wawancara eksklusif dalam program BRIGADE Podcast, yang tayang pada kanal YouTube Kompas.com, pada 8 Mei lalu.

Salah satu keuntungan penggunaan drone dalam pembangunan sistem pertahanan dan serangan udara adalah harganya yang lebih murah, teknologi yang relatif lebih mudah dibuat dan dikembangkan, serta efektifitas di dalam melakukan manuver untuk menyerang target tertentu, dibandingkan jet tempur.

Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia ini mencontohkan, ketika AS membalas serangan al-Qaeda akibat peristiwa 9/11, drone memainkan peranan penting di dalam keberhasilan operasi rahasia itu.

CIA, misalnya, mengerahkan MQ-1 Predator, pesawat nirawak atau unmanned aerial vehicle (UAV) untuk memburu keberadaan pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pada Mei 2011. Setelah berhasil mengidentifikasi keberadaannya, pasukan Navy Seal AS kemudian melakukan penyerbuan di lokasi persembunyian Osama hingga menewaskannya.

"Waktu AS menyerang Afghanistan, Suriah, karena marah (terhadap) al-Qaeda, itu serang pakai drone. Pilotnya di Nevada. Kita bayangkan bagaimana perkembangan perang yang pengaruhi sistem pertahanan," ujarnya.

Operasi menggunakan drone pun kembali dilakukan AS untuk memburu orang kepercayaan Osama yang lain pada tahun-tahun berikutnya. Terbaru, Presiden AS Joe Biden memerintahkan serangan di wilayah Kabul, Afghanistan setelah intelijen meyakini menemukan lokasi pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri.

Setelah mempelajari kebiasaan sehari-hari Zawahiri, serangan menggunakan pesawat nirawak digunakan.

Dua rudal Hellfire yang ditembakkan berhasil menghantam balkon rumah Zawahiri.

Serangan terhadap Zawahiri pada tahun 2022 itu hanya menewaskan sang pemimpin.

Hal ini lantaran rudal yang ditembakkan tidak dipersenjatai dengan hulu ledak, sehingga tidak menyebabkan kerusakan masif.

Melansir BBC Indonesia, rudal Hellfire model R9X yang digunakan dalam serangan tersebut dilengkapi enam bilah (seperti pisau) yang terlontar dari bagian sisi rudal, karena adanya energi kinetiknya.

Sifat serangan rudal yang dilakukan secara terukur dan minim ledakan, tentu telah mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi terhadap masyarakat sipil yang tak bersalah apabila hulu ledak digunakan untuk menyasar target operasi. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Drone : "Game Changer" Kekuatan Udara TNI AU

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved