ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Aksi Massa di Senayan

Sikap DPR dan Pemerintah Menginjak-injak Kedaulatan Rakyat Demi Kepentingan Jokowi

Rakyat sudah menilai apa yang dilakukan DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah keterlaluan mengangkangi hukum.

Tribun-Papua.com/Istimewa
Massa saat orasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024). (Shela Octavia) 

”Dalam sistem demokrasi yang sehat, MK adalah benteng terakhir yang menjaga konstitusi sebagai norma tertinggi. Putusan MK seharusnya final, mengikat, dan menjadi acuan bagi semua lembaga negara, termasuk DPR."

"Namun, ketika DPR melalui Baleg menggunakan otoritasnya untuk menolak putusan tersebut, kita menghadapi realitas yang mencengangkan, sebuah lembaga yang seharusnya menjadi pelindung demokrasi justru terlibat dalam tindakan yang dapat dianggap pelemahan terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri,” tuturnya.

Menurut Benny, tindakan ini bukan hanya bentuk pembungkaman terhadap demokrasi itu sendiri, melainkan juga merupakan sinyal kuat tentang adanya erosi terhadap kedaulatan rakyat yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun.

”Salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi adalah ketika hukum digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan membungkam kebenaran. Ketika DPR menggunakan kekuatan hukum untuk menolak putusan MK, mereka tidak hanya membungkam suara rakyat, tetapi juga mengancam keadaban demokrasi itu sendiri,” ujar Benny.

Dikatakan Benny, demokrasi yang sehat seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi, di mana hukum digunakan untuk melindungi hak-hak rakyat dan menjaga keadilan, bukan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir elite politik.

Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (Tribun-Papua.com/Kompas)

Kartel politik yang menguasai hukum akan menghancurkan fondasi demokrasi.

Kita telah melihat bagaimana kekuatan-kekuatan politik ini mampu membelokkan konstitusi demi kepentingan mereka sendiri, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.

”Jika kondisi ini dibiarkan, kita akan kehilangan demokrasi sebagai syarat utama untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional. Penolakan DPR terhadap putusan MK juga mencerminkan krisis kepercayaan yang semakin dalam terhadap lembaga-lembaga negara."

"Ketika lembaga yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi justru menggunakan kekuasaan mereka untuk membungkam kebenaran, maka kepercayaan rakyat terhadap negara akan semakin terkikis,” ujarnya.

Para cendekiawan, ahli hukum, dan intelektual yang seharusnya menjadi suara kebenaran kini terjebak dalam kebisuan atau yang dalam teori komunikasi disebut Spiral Keheningan di mana orang-orang yang memiliki sudut pandang minoritas akan cenderung diam dan tidak banyak berkomunikasi karena takut akan konsekuensi dari mengungkapkan kebenaran.

”Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Ketika hukum digunakan untuk menindas dan bukan untuk melindungi, maka matilah nalar kebenaran. Dunia akan menghadapi situasi yang semakin sulit ketika pembangkangan terhadap konstitusi dibiarkan terjadi karena hal ini akan menciptakan masyarakat yang kehilangan harapan dan terus-menerus terjebak dalam ketidakadilan,” katanya.

Menjaga pilkada

Gejolak perdebatan mengenai batas usia calon kepala daerah bermula ketika Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, yang menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan calon terpilih.

Keputusan ini seolah memberikan ”karpet merah” bagi kandidat tertentu yang belum memenuhi syarat usia pada saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum.

Namun, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan calon terpilih.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved