ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Aksi Massa di Senayan

159 Orang Ditahan dan 7 Jurnalis Alami Kekerasan oleh Aparat dalam Aksi Menolak RUU Pilkada

Selain wartwan Tempo, Kompas juga mengalami intimidasi oleh aparat untuk menghapus dokumentasi video pemeriksaan aparat terhadap pengunjuk rasa.

Tribun-Papua.com/Kompas
Mahasiswa dan polisi terlibat bentrokan dan aksi saling dorong saat unjuk rasa di Kantor DPRD Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (22/8/2024). Demosntrasi yang berlangsung di sejumlah daerah ini sebagai protes terhadap revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo untuk diturunkan dari jabatannya terkait beberapa keputusan politik kepentingannya. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA 

TRIBUN-PAPUA.COM - Demosntrasi menuntut pembatalan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada di Kompleks DPR, Jakarta, dan sejumlah daerah pada Kamis (22/8/2024) kemarin, turut diwarnai kekerasan oleh oknum aparat polisi dan TNI.

Penangkapan dan pemukulan dialami sejumlah mahasiswa.

Setidaknya 7 jurnalis dari sejumlah media juga alami kekerasan, baik itu pemukulan hingga intimidasi, termasuk wartawan Kompas.

Hingga Jumat (23/8/2024), laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, terdapat 159 peserta demonstrasi yang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya.

Pengunjuk rasa yang ditangkap terdiri atas beberapa kalangan, mulai mahasiswa, buruh, aktivis, hingga jurnalis.

Penganiayaan terhadap mahasiswa antara lain diungkap anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Trisakti, Robertus Juan.

Menurut dia, ada dua mahasiswa dari beberapa sekolah tinggi yang menjadi bagian dari jaringan Trisakti yang alami kekerasan oleh aparat.

”Dua mahasiswa yang alami cedera, setelah memperoleh pengobatan, langsung pulang,” ucapnya.

Baca juga: BREAKING NEWS: Mahasiswa Papua Bergerak, Gelar Demo Tolak Upaya Jokowi dan DPR Revisi UU Pilkada

Sementara itu, wartawan Tempo berinisial H didiagnosis mengalami trauma ringan di bagian kepala setelah alami kekerasan oleh aparat.

 H mengaku dokter yang menanganinya meminta ia menjalani observasi selama dua hari.

 ”Butuh observasi dua hari ke depan,” ucap H.

Berawal dari aniaya peserta unjuk rasa

Penganiayaan terhadap wartawan Tempo, Kamis, berawal saat sejumlah peserta aksi berhasil masuk ke Kompleks Parlemen lewat pagar yang dirobohkan, yakni sekitar pukul 18.00.

REPRESIF - Salah satu anggota polisi berusaha men
REPRESIF - Salah satu anggota polisi berusaha menenangkan rekannya untuk bertahan di tengah kericuhan unjuk rasa mahasiswa di Kantor DPRD Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (22/8/2024). Demosntrasi yang berlangsung di sejumlah daerah ini sebagai protes terhadap revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dilakukan Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo diturunkan dari jabatannya terkait beberapa keputusan politik kepentingannya. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petugas yang beratribut lengkap, tongkat panjang, serta tameng bertuliskan ”Polisi” dan ”TNI AD” menjatuhkan satu pengunjuk rasa yang merangsek masuk ke Kompleks Parlemen.

Aparat yang lain pun datang dan mengerumuni. Pukulan dan tendangan dari belasan oknum aparat menghujani satu peserta aksi.

Petugas lainnya mencoba menghentikan pengeroyokan sembari berteriak, ”Ada kamera, ada kamera itu, stop!”.

Saat pengeroyokan itu, memang ada jurnalis dan warga yang merekam, termasuk Kompas.

Akhirnya, petugas menghentikan aksinya dan menggiring peserta aksi ke pos pemeriksaan.

Tak lama seusai pengeroyokan, pandangan petugas beralih ke jurnalis Tempo berinisial H, yang merekam penganiayaan oknum aparat TNI dan Polri terhadap seorang peserta unjuk rasa.

Sebanyak tiga aparat memegang H dari kanan, kiri, dan depan. Oknum aparat itu menanyakan apa yang H lakukan dengan merekam dan memintanya menghapus dokumentasi tersebut.

H pun menolak karena rekamannya dibutuhkan untuk pemberitaan.

 Aparat terus menekan H lewat pukulan ke bagian kepala dan badan H.

Saat kejadian itu, Kompas berusaha melerai dan menghentikan amukan petugas terhadap H karena terus menolak menghapus dokumentasi.

”Ini untuk pemberitaan. Jurnalis Tempo Pak,” kata H memohon.

Pada akhirnya, H bisa digiring ke pos pemeriksaan.

Namun, di tengah perjalanan, aparat yang mengenakan seragam loreng bertuliskan ”TNI AD” di bagian belakang pelindung badannya menendang H dari belakang.

Kompas pun berusaha mengikuti H sambil berusaha menghindar menjadi incaran oknum aparat berikutnya.

Namun, jejak petugas yang menggiring H tak bisa ditemukan.

Menurut H, ketika tiba di pos pemeriksaan, seorang polisi dari biro Provos menginterogasinya. Mereka menanyakan asal H.

Polisi itu kemudian meminta H menghapus rekaman penganiayaan sebelum melepaskannya.

H lantas pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kesehatannya setelah mendapat pukulan di kepala.

Selain H, Kompas juga mengalami intimidasi oleh aparat untuk menghapus dokumentasi video pemeriksaan aparat terhadap pengunjuk rasa.

Saat itu, sebanyak tiga pendemo ditangkap dan diperiksa langsung di tempat.

Tas, kantong baju, dan celana dirogoh langsung oleh polisi.

Mereka juga diminta memberikan sandi ponsel guna diperiksa lebih lanjut. Namun, pendemo menolak.

Polisi bersikukuh karena demonstran masuk ke gedung DPR.

Massa saat orasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024). (Shela Octavia)
Massa saat orasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024). (Shela Octavia) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Polisi menyebut mereka meminta kata sandi ponsel demonstran itu karena ingin membuka percakapan dan mendalami rahasia-rahasia demonstran.

Di tengah proses itu, ada petugas lainnya yang menemui Kompas dari belakang dan memaksa untuk menghentikan dan menghapus video.

Komnas HAM akui ada tindakan represif

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mengungkapkan, demonstrasi yang bertujuan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Pilkada itu pada mulanya berlangsung kondusif, terhitung dari pukul 09.00 sampai 17.00 WIB.

Namun, tindakan represif aparat muncul setelah pukul 17.00, petugas mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa demonstran setelah pagar pembatas gerbang DPR roboh.

”Aksi unjuk rasa yang terjadi pada 22 Agustus 2024 itu merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi di muka umum. Komnas HAM menyesalkan cara pembubaran aksi unjuk rasa 22 Agustus 2024 oleh aparat penegak hukum menggunakan gas air mata dan pemukulan ke beberapa peserta aksi,” ujarnya.

Meski begitu, Uli mengapresiasi aparat penegak hukum yang menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat.

Ia hanya menyayangkan kekerasan masih dipakai untuk membubarkan massa.

 Keterlibatan TNI juga terindikasi menggunakan kekuatan yang berlebihan, padahal mereka semestinya mengedepankan pendekatan humanis.

Selain itu, Komnas HAM juga mendorong aparat penegak hukum segera membebaskan 159 peserta aksi yang ditahan saat berunjuk rasa.

Ke depan, Uli berharap aparat penegak hukum bisa memastikan kondusivitas unjuk rasa atas dasar penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan kebebasan berpendapat serta berekspresi sebagai wujud negara demokrasi.

Menurut Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Tri Agung Kristanto, tindakan oknum aparat merupakan pelanggaran pidana karena menghalangi pekerjaan wartawan.

Baca juga: Bagaimana MK Memutuskan Perubahan Ambang Batas Pencalonan Pilkada? Begini Kronologisnya

 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin hal tersebut.

Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menyebutkan, menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.

”UU Pers ini juga mengatur bahwa setiap individu, organisasi, bahkan polisi, tidak boleh menghalangi kerja jurnalis untuk mendapat informasi. Wartawan yang dihalangi oleh siapa pun saat menjalankan tugasnya silakan mengadu kepada Dewan Pers,” kata Tri Agung.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, sedikitnya tujuh jurnalis dari berbagai media mengalami tindakan represif polisi.

 Pemantauan tim Amnesty di lapangan, aparat menanggapi aksi demonstrasi menggunakan kekuatan yang berlebihan.

Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (Tribun-Papua.com/Kompas)

Kekerasan yang dilakukan oleh aparat, kata Usman, bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

 Aturan itu mengatur soal kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah.

Dalam pedoman pengendalian massa, secara terang mengatur bahwa polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur.

Selain itu, mereka juga tak boleh mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, serta memaki pengunjuk rasa. (*)

Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved