Papua Terkini
Sengketa Pilkada Papua di MK, Kuasa Hukum BTM-YB Ungkap Penggelembungan Suara Jayapura Selatan
Penggelembungan suara termasuk Ardipura, Entrop, Argapura, dan Hamadi, dengan total tambahan suara mencapai 9.137 suara.
Penulis: Paul Manahara Tambunan | Editor: Paul Manahara Tambunan
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Sidang sengketa hasil Pilkada Gubernur Papua 20204 bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Gugatan Pilkada dilayangkan pasangan calon gubernur Papua nomor urut 2, Mathius Derek Fakhiri dan Aryoko Rumaropen.
Terabru, pasangan calon gubernur Papua nomor urut 1, Benhur Tomi Mano - Yeremias Bisay (BTM-YB), mengungkapkan adanya dugaan penggelembungan suara di Distrik Jayapura Selatan (Japsel) pada Pilkada 27 November 2024.
Hal ini diungkapkan kuasa hukum pihak terkait, Ronny Talapessy, dalam sidang sengketa Pilkada di MK di Jakarta.
Baca juga: Benhur Tomi Mano: Politik adalah Perjuangan untuk Rakyat, Bukan Sekadar Perebutan Kekuasaan
Ronny berujar, terdapat peningkatan jumlah suara yang signifikan di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di Distrik Jayapura Selatan.
"Berdasarkan sertifikat C hasil, suara paslon nomor urut 2, Matius Fakiri dan Ariyoko Rumaropen (Mari-Yo) di distrik tersebut awalnya 8.125 suara."
"Namun dalam sertifikat D hasil kecamatan/distrik, meningkat menjadi 17.262 suara," ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (31/1/2025).

Ronny mengatakan, kenaikan suara ini terjadi di beberapa kelurahan.
Termasuk Ardipura, Entrop, Argapura, dan Hamadi, dengan total tambahan suara mencapai 9.137 suara.
Menurutnya, jika tidak terjadi penggelembungan suara di Distrik Jayapura Selatan, maka selisih suara antara kliennya (BTM-YB) dan Mari-Yo di seluruh Papua seharusnya mencapai 16.110 suara atau 3,8 persen.
“Selisih suara dengan adanya kenaikan suara di Distrik Jayapura Selatan, selisih suara antara kedua paslon menjadi 1,35 persen."
"Hal ini membuat gugatan memenuhi syarat ambang batas perselisihan suara dalam PHPU, yakni 2 persen,” ungkapnya.
Ronny berpendapat bahwa jika mengacu pada sertifikat C hasil, maka selisih suara kedua paslon ini sebenarnya mencapai 3,8 persen.
Karenanya, gugatan Mari-Yo tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia juga menyoroti gugatan pasangan Mari-Yo yang meminta MK untuk membatalkan hasil Pilkada Papua dan menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS di Kabupaten Mamberamo Raya dan Kabupaten Sarmi.
Baca juga: Perjuangan Benhur-Yeremias Dimulai Barisan Kecil, Surya Ibrahim: Harapan Itu Diwujudkan Rakyat Papua
“Permohonan tersebut dianggap kabur, karena tidak disertai uraian atau fakta hukum yang jelas yang menunjukkan adanya pelanggaran di dua kabupaten tersebut,” ungkapnya.

Ronny menambahkan, saksi dari pasangan Mari-Yo telah menandatangani sertifikat D hasil tanpa keberatan, sehingga tidak ada dasar hukum yang kuat untuk mengajukan PSU.
Dengan demikian, Ronny menilai bahwa paslon nomor urut 2, Mari-Yo, tidak memiliki kedudukan hukum dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilkada Papua di MK.
“Gugatan yang diajukan Pemohon Mari-Yo tidak memenuhi syarat formal lantaran tidak memenuhi ambang batas perselisihan suara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,” pungkasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.