pelanggaran hukum
Amnesty Internasional Desak Usut Kematian 10 Warga dan Bebaskan Aktivis HAM
“Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa, begitu pula penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar
Penulis: Noel Iman Untung Wenda | Editor: Marius Frisson Yewun
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com,Noel Iman Untung Wenda
TRIBUN-PAPUA.COM, WAMENA - Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah segera mengusut tuntas kematian 10 warga sipil yang terjadi dalam rangkaian unjuk rasa pekan lalu. Organisasi ini juga menuntut pembebasan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang ditangkap aparat kepolisian di sejumlah daerah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai aparat negara menggunakan pendekatan represif dan otoriter terhadap kebebasan berekspresi masyarakat.
Baca juga: Hari Ini 9 Dari 18 Distrik di Mimika Dilanda Hujan Ringan Hingga Sedang
“Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa, begitu pula penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali, serta dua pendamping hukum dari YLBHI di Manado dan Samarinda. Tuduhan yang dikenakan pun memakai pasal-pasal karet. Ini harus dihentikan, bebaskanlah mereka,” kata Usman dalam keterangannya yang diterima Tribun-Papua.com, Rabu (3/9/2025).
Amnesty juga mengecam penembakan gas air mata ke area Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) yang saat itu menjadi posko medis mahasiswa. Menurut Usman, tindakan tersebut membahayakan warga sipil dan dapat menimbulkan korban jiwa, sebagaimana pernah terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan.
Baca juga: Dispersip Jayawijaya Lomba Cerpen Tingkat SMP Untuk Meningkatkan Literasi
“Negara harus mengoptimalkan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog, bukan kekerasan. Penggunaan gas air mata yang berlebihan bisa mengakibatkan luka fatal bahkan kematian,” tegasnya.
Selain itu, Amnesty menilai pemerintah gagal memberikan jaminan perlindungan hukum. Alih-alih mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi, Presiden justru melabeli pengunjuk rasa dengan istilah “anarkis”, “makar” atau “terorisme”. Menurut Amnesty, pelabelan ini bisa membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif.
Baca juga: Rakyat Bersuara: Seruan Tegas dari Tanah Papua Untuk Akhiri Polemik PSU Gubernur
Amnesty mendesak agar dilakukan investigasi independen yang melibatkan Komnas HAM, tokoh masyarakat, dan pihak berintegritas untuk mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas kematian warga sipil.
“Tanpa itu, pernyataan Presiden bahwa negara menghormati kebebasan berpendapat hanyalah slogan kosong yang dikubur oleh praktik otoriter yang melanggar HAM,” pungkas Usman. (*).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.