ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Opini

Komite Eksekutif Otsus Papua, Mensejahterakan Rakyat atau Hanya Menenangkan Elite Daerah?

Rakyat di Tanah Papua tidak sedang meminta belas kasihan, tetapi sedang menagih janji keadilan.

Tribunnews/Irwan Rismawan
ILUSTRASI - Sejumlah mahasiswa dari Aliansi Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019). Aksi tersebut sebagai bentuk kecaman atas insiden di Surabaya dan menegaskan masyarakat Papua merupakan manusia yang merdeka. 

BAYANGKAN sebuah pesta besar di istana. Meja-meja penuh kue, lampu-lampu berkilau, dan para pejabat menanti giliran menikmati hidangan.

Namun di luar pagar, rakyat hanya menatap lapar. Mereka tidak diundang, padahal kue itu dibuat dari hasil bumi mereka sendiri. 

Begitulah nasib banyak orang Papua hari ini.

Setiap kali pusat berbicara tentang percepatan pembangunan dan kesejahteraan, yang terjadi sering kali hanyalah pesta jabatan dan lembaga baru, bukan perubahan hidup bagi rakyat di kampung. 

Ketika Presiden Prabowo Subianto melantik Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua pada Oktober 2025, banyak yang menganggapnya sebagai babak baru perhatian pemerintah terhadap Papua.

Namun sejarah panjang kebijakan Papua menunjukkan pola yang berulang.

Baca juga: Legislator dari Nduga Ini Minta Presiden Prabowo Bentuk Tim Khusus Tangani Pengungsi di Tanah Papua

Setiap presiden membawa program dan nama lembaga baru, tetapi substansinya sering sama. Papua dilihat dari atas, diatur dari jauh, dan rakyatnya hanya menunggu hasil yang tak kunjung datang.

Pertanyaannya sederhana: apakah lembaga baru ini akan benar-benar membawa kesejahteraan atau sekadar menambah kursi bagi para elite?

Pergeseran Arah Kesejahteraan Papua

Relasi negara dan Papua selalu diwarnai janji besar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan melalui kebijakan yang berbeda dari wilayah lain.

Namun dalam perjalanan dua dekade terakhir, wajah kebijakan itu terus berganti nama, sementara pola dasarnya tetap sama: pembangunan masih banyak ditentukan dari pusat, bukan tumbuh dari inisiatif lokal.

Segalanya bermula pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

Tahun 2001, ia menandatangani Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua—tonggak penting lahirnya desentralisasi asimetris di Indonesia. 

Otonomi Khusus atau Otsus dimaksudkan bukan hanya sebagai kebijakan fiskal, tetapi juga sebagai pengakuan politik atas sejarah panjang Papua serta penghormatan terhadap identitas Orang Asli Papua (OAP).

Massa pendukung Erdi Dabi-Jhon Wilil tengah mendengar pernyataan Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, yang datang ke Distrik Elelim, Yalimo, Papua, Senin (5/7/2021).
Massa pendukung Erdi Dabi-Jhon Wilil tengah mendengar pernyataan Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, yang datang ke Distrik Elelim, Yalimo, Papua, Senin (5/7/2021). (KOMPAS.COM/DHIAS SUWANDI)

Untuk pertama kalinya, Papua diberi kewenangan luas dalam pengelolaan pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved