Kisah Wanita Papua Pengungsi Nduga Bertaruh Nyawa Melahirkan Anak di Tengah Konflik Senjata
Para wanita di Kabupaten Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan hidup di belantara pegunungan tengah Papua karena konflik yang berkecamuk.
Selama delapan bulan terakhir, gelombang pengungsi tersebar ke beberapa wilayah di sekitar Nduga, bahkan beberapa di antaranya dilaporkan meninggal.
Namun, oleh juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka (TPNB-OPM) Sebby Sambom, banyaknya pengungsi dan korban yang berjatuhan adalah sebagai 'risiko dari perang'.
• Polemik Penarikan Pasukan TNI-Polri dari Nduga, Permintaan Pemkab hingga Tanggapan Aparat Keamanan
"Itu risiko dari perang. Itu bukan TPN yang usir tapi Indonesia yang masuk, jadi mereka takut Indonesia. Oleh karenanya tanggung jawab pemerintah Indonesia, bukan TPN. TPN kan selalu tinggal dengan masyarakat, di kampung-kampung, tidak pernah ancam masyarakat, tidak pernah usir masyarakat. Mereka mengungsi karena kehadiran TNI/Polri dalam jumlah besar dan melakukan pembakaran rumah, ternak dibunuh, dibantai," cetusnya.
Namun, klaim ini dibantah oleh Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto, yang menyebut operasi gabungan TNI/Polri di Nduga adalah selain untuk pengamanan proyek Trans Papua yang melintasi Kabupaten Nduga, juga pengejaran untuk mencari pelaku serangan Desember silam.
Kesulitan yang dihadapi, karena banyak dari kelompok pro-kelompok Papua ini membaur dengan warga.
"Ketika mereka melakukan penyerangan, mereka selalu berbaur dengan masyarakat. Wajar kalau masyarakat daripada menjadi korban, mereka mengungsi," jelas Eko.
Namun, dia menegaskan, tidak semua warga Nduga pengungsi.
Eko mengklaim ada warga Nduga yang "merasa aman dengan kedatangan pasukan kita."
"Tetapi di satu sisi mereka merasa ketakukan karena OPM membaur, ada sisi intimidasi juga. Kita kesulitan membedakan OPM ketika sudah tidak bersenjata," tutur Eko.

Terhimpit di tengah konflik
Theo Hesegem menjelaskan beberapa pengungsi mengalami banyak penolakan, ketika tinggal di pengungsian.
Dia mencontohkan, anak-anak yang mengungsi di Walesi disuruh membayar oleh orang yang memiliki lahan ketika kedapatan menangkap ikan.
Pengungsi lain, ketika sedang mencari kayu bakar, ditegur oleh warga setempat.
"Ini menunjukkan bahwa mereka tidak aman, di sana operasi [militer] kemudian di sini mereka tinggal, tapi tidak aman."
Belum lagi, banyak yang pengungsi yang merasa trauma dengan kehadiran militer.