Kisah Wanita Papua Pengungsi Nduga Bertaruh Nyawa Melahirkan Anak di Tengah Konflik Senjata
Para wanita di Kabupaten Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan hidup di belantara pegunungan tengah Papua karena konflik yang berkecamuk.
Hingga akhirnya sekitar April lalu, dirinya terpaksa melahirkan di hutan.
"Saya sendirian, tidak ada yang temani, [saya melahirkan] di bawah pohon." ujar Jubiana, sambil berupaya menenangkan Pengungsi yang terus menangis.
"Anak ini posisinya melintang [di perut], prosesnya hampir taruhan nyawa. Saya pikir anaknya sudah meninggal, karena ketika mau melahirkan saya tekan, saya atur sendiri, dia melintang, jadi saya atur. Saya pikir anak ini sudah meninggal," ungkapnya.
• Bupati Minta Semua Pasukan Ditarik dari Nduga, TNI: Kita Tak Bisa Melakukan Itu Begitu Saja
Sejak dilahirkan April lalu, Pengungsi tidak pernah mengenakan baju.
Ketika cuaca dingin menerjang, Jubiana hanya bisa memeluk anaknya erat dan menyelimutinya dengan anyaman daun pandan.
"Bikin tikar pakai daun pandan, lalu kasih alas dia, terus peluk dia," jelas Jubiana.
Jubiana merupakan salah satu dari ribuan warga Nduga yang kini terpaksa harus mengungsi dari konflik yang berkecamuk di Nduga.
Pengungsi lain, Katarina Kogeya dan delapan anaknya terpaksa bertahan di hutan selama beberapa lama untuk menghindari kontak senjata di kampungnya di distrik Yal.

"Tidak sempat bawa apa-apa. Bawa anak saja di tangan sampai di hutan kami bikin tenda-tenda di hutan dari daun-daun. Anak-anak ini menangis minta makan karena tidak ada makan lagi."
"Akhirnya harus pindah lagi dari tempat itu ke tempat yang jauh ke dalam hutan yang lebih rimba lagi."
Sejak Juni silam, keduanya mengungsi di distrik Ilekma di Wamena, kabupaten Jawawijaya untuk menghindari konflik yang berkecamuk di Nduga sejak delapan bulan silam.
Banyak di antara mereka, hingga kini masih bertahan di hutan.

Pegiat HAM yang mendampingi para pengungsi, Theo Hesegem, mengatakan, para pengungsi ini menjadi 'korban di tanah mereka sendiri'.
"Mereka mengatakan kita takut dua-duanya karena dua-dua ini pegang senjata jadi kalau dua-dua ini pegang senjata dan terjadi baku kontak antara TNI dengan OPM, masyarakat bisa jadi korban di tengah-tengah," ujar Theo.
Eskalasi kontak senjata antara militer dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua terjadi setelah insiden penembakan belasan pekerja konstruksi jalan Trans Papua pada Desember silam.