Kisah Wanita Papua Pengungsi Nduga Bertaruh Nyawa Melahirkan Anak di Tengah Konflik Senjata
Para wanita di Kabupaten Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan hidup di belantara pegunungan tengah Papua karena konflik yang berkecamuk.
Itu sebabnya, beberapa dari mereka menolak pemberian bantuan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, karena dianggap penyaluran bantuan itu melibatkan militer.
Hal ini, menurut Theo, tak lepas dari trauma pengungsi atas keberadaan militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.
• Kronologi Penangkapan Oknum TNI yang Jual Amunisi ke KKB, Ditangkap saat Ikuti Acara Kedukaan
Selain itu, kepercayaan adat mereka bahwa mereka tidak bisa menerima bantuan dari 'pihak musuh'.
"Budaya orang di sini kalau baku perang dengan musuh itu kita tidak bisa ambil, secara adat itu susah. Nanti mereka akan sakit dan mati semua."
Namun, keterlibatan militer dalam pendistibusian bantuan, ditepis oleh Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Chandra Dianto.
Dia menyebut, pengerahan militer di Nduga adalah untuk pengamanan pembangunan proyek jalan Trans Papua dari gangguan kelompok bersenjata.
"Tentunya, terjadi eskalasi atau terjadi kontak tembak itu adalah salah satu tugas dalam rangka mengamankan pekerja."
"Terjadinya kontak tembak itu karena munculnya gangguan-gangguan. Sehingga untuk mengurangi bantuan, mau tidak mau tugas TNI adalah untuk mengamankan, sehingga kontak tembak tidak bisa dihindarkan," tutur Chandra.
• Polri: Kehidupan Sosial di Nduga Papua Cukup Kondusif
Konflik di Nduga, menurut tokoh HAM Papua yang juga seorang imam Katolik Pastor John Djonga, tak lepas dari trauma masa lalu yang terjadi sejak tahun 1960an, saat sekelompok orang menghendaki kemerdekaan Papua dari NKRI.
Sejak itu, warga Nduga hidup di bawah pengalaman kekerasan militer, hingga saat ini.
"Oleh karena itu menurut saya sekarang sudah tidak waktu lagi pihak pemerintah Indonesia merasa mereka yang paling benar, OPM juga merasa mereka yang paling benar, karena berjuang untuk Papua merdeka. Tapi Papua merdeka dengan kematian sebanyak ini bagaimana itu?," ujarnya.
"Saya berpikir sebagai orang gereja bagaimana kedua pihak ini harus berunding agar tidak ada lagi korban-korban," tegas Pastor John.
Menilik sejarah masa lalu orang Nduga dan konflik yang terjadi di wilayah yang menjadi pemekaran Kabupaten Jayawijaya itu, dia memandang pemerintah maupun pemimpin militer belum memahami masalah Nduga.
"Mereka hidup di bawah pengalaman-pengalaman kekerasan militer, operasi militer, sampai saat ini."
• Bupati Nduga Yairus Gwijangge Minta Pemerintah untuk Tarik Personel TNI/Polri dari Wilayahnya
"Karena itu sebenarnya bagaimana orang Nduga ini bisa hidup aman. Hidup aman menurut mereka tidak bisa aman dengan militer, tidak bisa dan sampai saat ini memang masih terjadi baku perang."
Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat.
Di antara pengungsi ini, tercatat 53 orang dilaporkan meninggal.
Angka ini jauh di bawah data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga kini mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.
Data relawan menyebut pengungsi di Wamena tersebar di sekitar 40 titik.
Kebanyakan dari mereka tinggal menumpang di rumah kerabat.
Akibat banyaknya pengungsi yang berdatangan, di dalam satu rumah atau honai bisa berisi antara 30-50 orang.
(BBC Indonesia)