Kericuhan di Yahukimo
Sosiolog: Konflik di Yahukimo Papua Pecah Karena Warga Termakan Hoaks
Secara umum masyarakat yang memiliki tingkat ketidakpercayaan sosial yang tinggi cenderung mudah terprovokasi oleh informasi hoaks.
TRIBUN-PAPUA.COM - Hoaks penyebab kematian mantan Bupati Yahukimo Abock Busup memicu kericuhan di Yahukimo, Papua, pada Minggu (3/10/2021) lalu.
Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Ida Ruwaida mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan informasi hoaks mudah dipercaya oleh masyarakat.
Termasuk faktor yaitu tingginya social distrust atau ketidakpercayaan sosial dan lemahnya sikap kritis masyarakat terhadap informasi dan sumbernya.
Baca juga: Polisi Tetapkan 22 Orang Tersangka Atas Kericuhan Yahukimo Papua
"Tingginya social distrust ditambah dengan lemahnya sikap kritis masyarakat atas isi informasi dan sumbernya. Lalu, melek medsos masih rendah, serta adanya pihak-pihak tertentu yang lebih dipercaya masyarakat tentu bisa menjadi faktor-faktor yang melatari mengapa hoaks lebih menang," kata Ida saat diwawancara, Rabu (6/10/2021).
Bertalian dengan konflik di Yahukimo, Papua, yang diduga dipicu hoaks penyebab kematian mantan Bupati Yahukimo Abock Busup, Ida menuturkan, ada aspek sosio kultural masyarakat setempat dan sejarah relasi antarsuku yang perlu dipahami.
Dia mengatakan, relasi antarsuku di Yahukimo, khususnya dua kelompok yang terlibat dalam kerusuhan, yaitu Suku Kimyal dan Suku Yali berkontestasi secara politik.
Baca juga: Petaka G30S PKI dan Kekuasaan Soekarno Dilucuti
Abock Busup, bagi Suku Kimyal bukan hanya figur tokoh masyarakat, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan suku.
Karena itu, menurut Ida, akhirnya masyarakat tidak bisa memahami informasi secara kritis karena ada prasangka di sana.
"Jika relasinya cenderung tegang, tentu menstimulasi ketidakpercayaan antarkelompok dan warganya. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, sikap kritis tidak terbangun, karena sudah dipenuhi prasangka," ujarnya.
Selain itu, Ida menyatakan, budaya paternalistik di Papua masih sangat kuat.
Baca juga: Oka Sulaksana Tegaskan Pensiun dari PON, Raih Emas Nomor RSX Putra untuk Bali
Keberadaan tokoh adat menjadi simbol kekuatan serta menjadi menjadi sumber rujukan masyarakat.
"Sebab itu, kematian Abock potensial dipolitisasi oleh pihak tertentu," ucap Ida.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa secara umum masyarakat yang memiliki tingkat ketidakpercayaan sosial yang tinggi cenderung mudah terprovokasi oleh informasi hoaks.
Apalagi, ditambah dengan sejarah konflik antarkelompok atau aktor yang ada.
Baca juga: Berkah PON XX Papua, Penjual Pinang Bisa Raup Rp 600 Ribu Sehari
Menurut Ida, untuk membangun sikap kritis masyarakat terhadap informasi, perlu ada upaya literasi yang dilakukan berbagai pihak.
Ia mengatakan, kemampuan ini dapat dibangun melalui pendidikan di sekolah dan keluarga.
"Literasi oleh berbagai pihak. Tidak hanya di Papua, di berbagai wilayah juga perlu dilakukan karena masyarakat kita yang percaya hoaks masih tinggi," ucap Ida.
"Dan tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin terbangunnya sikap selektif dab kritis atas informasi," kata dia. (*)