Tribun Militer
Kontras Klaim Jenderal Andika Tak Hormati Putusan Hakim, Eks Tim Mawar Jabat Pangdam Jaya
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dinilai tak menghormati keputusan hakim dalam proses hukum terhadap Tim Mawar.
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dinilai tak menghormati keputusan hakim dalam proses hukum terhadap Tim Mawar.
Diketahui, Tim Mawar adalah tim kecil yang dibuat oleh kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 1998.
Tim Mawar ini merupakan dalang dari operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi tahun 1998.
Terdapat 14 aktivis yang ditangkap oleh Tim Mawar, tetapi sembilan di antaranya berhasil dipulangkan, sementara terdapat beberapa tawanan lain yang berstatus hilang, salah satunya Wiji Thukul.
Baca juga: Sampaikan Pesan Jenderal Andika Perkasa, Dandrem Jebolan Kopassus Ini Terobos Wilayah KKB
Penunjukkan Mayjen Untung Budiharto menjadi Panglima Kodam Jaya oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dipersoalkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).
Untung Budiharto adalah eks Tim Mawar.
"Kami khawatir ini sebatas balas budi atau bentuk relasi semata sebab mengabaikan rekam jejak. Bagaimanapun juga, TNI, terkhusus Pangdam Jaya, memiliki peran untuk melindungi hak asasi manusia," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty dikutip dari laman Kompas.com, Kamis (6/1/2021).

Kontras menilai, pengangkatan Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya menjadi bukti tidak adanya penghormatan TNI terhadap proses pengadilan dan putusan hakim dalam proses hukum terhadap Tim Mawar.
Dalam putusan pengadilan, ada 11 orang yang dinyatakan sebagai terdakwa dan 5 orang dikenakan sanksi pidana dan pemecatan, termasuk Untung Budiharto.
Namun, sejak putusan ini dikeluarkan, Untung Budiharto justru melenggang bebas dan tidak menaati putusan pengadilan yang ada.
Baca juga: Sempat Trending di Twitter, Perhatian, Doa, dan Harapan Netizen Bagi Warga Jayapura
Pengangkatan Untung Budiarto sebagai Pangdam Jaya juga dianggap sebagai upaya menunjukkan ketidakadilan kepada keluarga korban yang sudah berjuang selama 24 tahun.
Selain itu, dianggap dengan sengaja menyakiti seluruh keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998.
Paian Siahaan selaku orangtua dari Ucok Siahaan yang jadi salah satu korbannya mengecam pengangkatan tersebut.
"Pemerintah sengaja mempertontonkan kepada rakyat betapa Presiden Jokowi mengingkari janji kepada keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 yang telah bertemu di Istana Presiden dua kali dan satu kali bertemu dengan Moeldoko selaku kepala Kantor Staf Presiden yang telah ditunjuk Presiden untuk menuntaskan kasus penculikan," kata dia.
Baca juga: Akibat Tanah Longsor, 6 Warga Kota Jayapura Meninggal
Diberitakan, Andika menunjuk Staf Khusus Panglima TNI Mayor Jenderal Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya menggantikan Mayjen Mulyo Aji.
Adapun penunjukkan Untung Budiharto menggantikan Mulyo Aji tertuang dalam Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Surat keputusan tersebut ditetapkan pada Selasa (4/1/20229 dan ditandatangani Kepala Sekretariat Umum TNI Brigjen Edy Rochmatullah.
Setelah digeser dari Pangdam Jaya, Mulyo akan menempati posisi baru sebagai Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Asal Usul Tim Mawar
Dikutip dari laman Kompas.com, Tim Mawar merupakan tim kecil yang dibuat Kopassus untuk menculik para aktivis 1998. Tim Mawar terbentuk karena peristiwa 27 Juli 1996.
Kala itu, para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan yang mendukung Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Baca juga: Jenderal Jebolan Kopassus ini Semangati Prajuritnya untuk Tembus Wilayah KKB Papua, Puron Wenda
Kejadian ini kemudian membuat Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto menugaskan secara khusus kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42.
Ia diminta untuk menjabat sebagai Komandan Satgas Merpati. Tugas tim ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan-kegiatan radikal.
Mayor Bambang kemudian memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha untuk menganalisis informasi tersebut dengan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1947.

Terdapat tiga tim yang dibentuk, yaitu Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung. Tim Mawar bertugas untuk mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror.
Operasi Penculikan
Pada 18 Januari 1998, terjadi ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kejadian ini membuat Tim Mawar semakin menginsentifkan kinerja mereka.
Tim Mawar menyusun rencana untuk menangkap sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat dalam insiden ledakan bom tersebut.
Mayor Bambang mendapat sembilan nama dari data intelijen untuk ditangkap oleh Tim Mawar.
Mereka adalah:
- Desmond J Mahesa
- Pius Lustrilanang
- Haryanto Taslam
- Faisol Riza
- Raharja Waluyo Jati
- Nezar Patria
- Aan Rusdianto Mugiyanto
- Andi Arief
Tim Mawar sudah menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas di Markas Kopassus, Cijatung. Target penangkapan pertama mereka adalah Desmond, aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional.
Pada 3 Februari 1998, sekitar pukul 09.30 WIB, Kapten Fauzani memerintah Kapten Dadang, Kapten Nugroho, dan Kapten Djaka untuk menangkap Desmond.
Desmond tertangkap ketika ia pergi ke luar kantor sekitar pukul 12.00 siang. Penangkapan dilancarkan saat Desmond tengah turun dari mikrolet yang ia tumpangi.
Setelah tertangkap, Desmond dalam keadaan tangan terikat dan mata dibalut kain hitam dibawa ke markas Kopassus di Cijatung.
Selama di markas, Desmond banyak menerima siksaan fisik, salah satunya dipukul. Ia juga dibawa ke sel bawah tanah.
Setelah itu, Kapten Fauzani memerintahkan Kapten Yulius untuk menangkap Aan Rusdianto, aktivis Partai Rakyat Demokratik di Rusun Klender.
Malam itu, Kapten Yulis menyamar sebagai pak RT. Ia mengetuk pintu rumah Aan. Sesaat begitu pintu dibuka, Aan langsung ditangkap dan dibawa ke markas.
Baca juga: FOTO Banjir Landa Kota Jayapura Papua
Selain Aan, rupanya Nezar juga sedang berada di rumah tersebut. Ia kemudian turut ditangkap. Keduanya dibawa ke markas dan tiba sekitar pukul 20.30.
Kapten Yulis memerintah Kapten Djaka untuk tetap di Rusun Klender, barangkali masih ada orang yang akan datang.
Sayangnya, ketika Kapten Djaka hendak masuk ke unit yang disewa aktivis PRD tersebut, sudah lebih dulu ada petugas Koramil Duren Sawit.
Mereka menangkap Mugiyanto yang sedang berada di dalam kamar. Setelah Aan dan Nezar, pada 4 Februari Pius Lustrilanang berhasil diciduk oleh Tim Mawar di depan RS Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat.
Baca juga: Jenderal Andika Perkasa: Mencari Prajurit Asal Papua Banyak Kendala
Setelah Pius, disusul Haryanto Taslam yang diculik pada 8 Maret 1998. Taslam merupakan salah satu aktivis PDI Pro-Megawati.
Penculikan selanjutnya terjadi pada 12 Maret 1998. Faisol Riza dan Raharja Waluyo Jati tertangkap di RS Cipto Mangunkusumo. Usai menulik kedelapan orang tersebut, pada 27 Maret, atas perintah Mayor Bambang, Kapten Fauzani diminta menangkap Andi Arief.
Andi Arief adalah ketua umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi dan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.
Andi Arief ditangkap di rumah kakaknya. Ia kemudian dibawa ke markas dan ditahan di sel bawah tanah. (*)