ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sosok

Kisah Wellem Matatar, Pria Ansus yang Mengabdikan Diri Jadi Guru di Pelosok Pegunungan Papua

Wellem tak menyerah. Hingga kini ia masih mengabdi di Distrik Pamek: mencerdaskan anak bangsa di pelosok Papua.

Tribun-Papua.com/Istimewa
SOSOK - Guru Wellem Matatar saat berfoto dengan anak-anak Distrik Pamek, Kabupaten Pegunungan Bintang, pelosok Papua. 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Calvin Louis Erari

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Mengabdi sebagai guru di pedalaman Papua bukanlah hal yang mudah.

Namun hal itu dilakoni Wellem Matatar selama 12 tahun di Kabupaten Pegunungan Bintang. Ia mengajar di sebuah SMP wilayah itu.

Pria kelahiran Kampung Ansus, 5 September 1982 itu memulai perjalanannya dari kampung halaman, Kabupaten Kepulauan Yapen.

Wellem kecil memulai pendidikannya di SD Negeri Inpres 1 Ansus dan tamat pada 1997, lalu melanjutkan studi di SMP YPK Eklesia Asnus hingga tuntas pada 2001.

Baca juga: Kisah Tan Malaka, Tokoh Komunis yang Diasingkan Indonesia Namun Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Bermodalkan doa dan keberanian hijrah ke Serui, ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen.

"Setelah di kota, saya masuk di SMA Negeri 2 Serui dan lulus tahun 2003, kemudian lanjut kuliah di Uncen Jayapura, jurusan Fisika, Fakultas FKIP" kata Wellem kepada Tribun-Papua.com, di Jayapura, Senin (14/02/2022).

Waktu berjalanan.

Wellem pun harus berjibaku dan sempat mengambil cuti dan menunda kuliahnya dua tahun, sejak 2005 sampai 2006.

Faktor ekonomi adalah awal Wellem mengambil cuti.

Dia tak patah semangat. Semua pekerjaan dilakukan demi mengumpulkan rupiah demi studi.

Baca juga: Masih Ingat Dokter Seribu Rupiah? Bertahun-tahun Masuk Keluar Hutan Asmat Demi Melayani Pasien

Wellem akhirnya dapat melanjutkan kuliah pada tahun 2007 kampus dan jurusan yang sama.

"Saat itu, segala tantangan dan masalah semasa kuliah sangat luar biasa, tapi saya hadapi saja," katanya.

Bak gayung bersambut, Wellem berkenalan dengan Utson Manbio, mahasiswa asal Kabupaten Pegunungan BIntang yang sedang menjalani tugas akhir di Uncen.

Tak disangka, Utson ternyata punya pergaulan luas di wilayah itu.

"Selama mengenal Utson, saya selalu bantu kerjakan tugas-tugas kantornya, dan pas kami mau dekat wisuda pada 17 Maret 2010, Utson tanya saya, mau jadi guru di Pegunungan Bintang atau tidak? dan saya jawab mau," kisahnya.

Mendengar jawaban Wellem, Utson lalu mengusahakan Wellem masuk sebagai guru honor di SMP Negeri Okbibab, Pegunangan Bintang.

Baca juga: Kisah Dokter Cantik Mengabdi di Pedalaman Papua, Susur Pantai 12 jam Layani Warga

Akses yang sulit serta biaya yang mahal untuk ongkos pesawat tak membuat Wellem patah semangat. Dia menumpangi pesawat misi ke Pegunungan Bintang. 

"Tepat 1 Desember saya ke Oksibil. Sewaktu saya di sana, ada tes pegawai, saya langsung ikut dan pada 13 Desember 2010, kami tes CPNS," ujarnya.

LATIHAN BERBARIS - 11 Februari 2011 adalah hari yang ditunggu-tunggu. Wellem memulai pengabdiannya sebagai guru honorer, sembari menunggu hasil penerimaan PNS.
LATIHAN BERBARIS - 11 Februari 2011 adalah hari yang ditunggu-tunggu. Wellem memulai pengabdiannya sebagai guru honorer, sembari menunggu hasil penerimaan PNS. (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Jadi PNS

11 Februari 2011 adalah hari yang ditunggu-tunggu. Wellem memulai pengabdiannya sebagai guru honorer, sembari menunggu hasil penerimaan PNS.

Pada bulan Maret 2011, Wellem dinyatakan lulus sebagai PNS.

"Saat itu saya sedang mengajar, kaget begini ada masyarakat yang sampaikan bahwa di pengumuman lewat SSB dari Oksibi saya lulus menjadi PNS di tempat tugas yang sama, jadi harus ke kota untuk melengkapi pemberkasan ulang," tuturnya.

Distrik Okibab cukup jauh dari Oksibil, ibu kota daerah itu. Semua hanya bisa ditempuh lewat udara.

Tak menunggu lama, dirinya terbang menggunakan maskapai Ama guna melengkapi semua persyaratan.

Dua hari berselang, da kembali ke Okibab untuk mengajar.

Baca juga: Elisabeth, Sosok Wanita Setia Pengiring Langkah Kaki Dokter Seribu Rupiah

Jumlah tenaga pendidik di distrik ini sangat minim, menurut Wellem.

"Hanya ada 6 guru, kita harus mengajar 200 lebih siswa, dari kelas 1, 2 dan 3 SMP. Saya sendiri guru fisika harus mengajar sekaligus matematika, IPA, dan beberapa mata pelajaran sekaligus," katanya.

Tak hanya itu, cuaca di wilayah itu sangat ekstrem. Udaranya dingin, menusuk tulang sumsum.

Belum lagi penerangan yang masih nihil. Hanya ada api atau obor rakitan.

Meski begitu, Wellem tak berlaku cengeng atau mengeluh. Panggilan jiawanya tetap kokoh untuk mendidik generasi emas Papua.

"Saya hanya bisa berdoa, meminta Tuhan untuk kuatkan dan tolong saya agar bisa bertahan," ujarnya.

Tantangan terberat, Wellem selama 9 tahun tak pernah kembali ke Distrik Oksibil.

Apalagi kampung halaman, untuk sekedar bercengkrama dengan orangtua dan sanak saudaranya.

Itu semua terjadi semenjak ia pertama kali menginjakkan kaki di Distrik Okibab, pada 2011.

Sembilan tahun masa kegelapan ditambah cuaca dingin dijalani Wellem di kampung itu, hanya demi mengajar anak didiknya.

"Memang genset ada, tapi tidak berfungsi karena BBM tidak ada, yah mau bagimana lagi," pungkasnya.

Hanya, kebaikan warga setempat terhadapnya membuat Wellem betah mengabdi.

Baca juga: Kisah Soedanto Dokter Seribu Rupiah, 46 Tahun Mengabdi di Papua

Setiap hari, warga mengantarkan hasil kebun kepada 'pak guru' Wellem, seperti sayur, ubi, dan keladi.

"Tidak ada orang jahat di sana. Mereka sampaikan setiap orang yang datang mengabdi dengan tulus, pasti akan pulang membawa berkat besar dari atas tanah ini," ungkapnya.

Nampak siswa dan siswa di SMP Pamek diajari berbaris. Lagi-lagi, 10 Oktober 2019, Wellem dipindah tugaskan ke pelosok terjauh dari Okibab. Lebih jauh lagi dari Oksibil.
Nampak siswa dan siswa di SMP Pamek diajari berbaris. Lagi-lagi, 10 Oktober 2019, Wellem dipindah tugaskan ke pelosok terjauh dari Okibab. Lebih jauh lagi dari Oksibil. (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Pindah Tugas ke Pelosok

Lagi-lagi, 10 Oktober 2019, Wellem dipindah tugaskan ke pelosok terjauh dari Okibab. Lebih jauh lagi dari Oksibil.

"Saya pindah ke SMP Negeri Pamek, karena sekolah baru dan tidak ada guru, maka saya dari Okbibab langsung ke sana menggunakan pesawat Susi Air," kata Wellem.

Lain halnya di Okibab, Wellem merasakan hal yang baru di Distrik Pamek. Perbedaanya terbilang tipis.

Misalnya, bahasa dan karakter masyarakatnya. Dia harus menyesuaikan lingkungan lagi.

"Jadi pas tiba di Distrik Pamek, saya tidak langsung ke rumah guru, tapi ke Honai dan perkenalan dan bermalam bersama warga setempat," tuturnya.

Setelahnya, ke rumah guru yang telah disediakan.

Pengakuan Wellem, warga di daerah ini juga baik dan ramah.

Baca juga: Cerita Alosius Topataparu, Termotifasi dari Anggota Polair Polres Mimika, Kini Ia Menjadi Polisi

"Kalau pulang sekolah baru saya tidak ke honai, berarti mereka yang datang ke saya lalu kami duduk cerita-cerita." 

Meski Distrik Pamek jauh lebih tertinggal dari Okibab, namun tak menjadi penghalang bagi pria Ansus tersebut untuk mengabdi.

Tak hanya jadi pendidik, warga setempak juga mempercayakan Wellem membawakan firman di Gereja GKI Fiadolorosa Abmisibil.

Wellem tak menyerah. Hingga kini ia masih mengabdi di Distrik Pamek: mencerdaskan anak bangsa di pelosok Papua. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved