Sosok
Mengenal Agam Wispi, Wartawan cum Sastrawan Eksil Sumut yang Bikin Berang Soekarno dan Soeharto
Salah satu sajaknya yang terkenal, Matinya Seorang Petani tak saja dilarang oleh pemerintahan Soeharto tetapi juga pemerintahan Soekarno.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di majalah Tempo, menulis tentang puisi ini:
Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu pada awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:
''dia jatuh roboh satu peluru dalam kepala ingatannya melayang didakap siksa tapi siksa cumadapat bangkainya''
Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan "Demokrasi Terpimpin".
Baca juga: Komunisme: Perjalanan dan Asal Usul Palu Arit Jadi Lambang Kebesaran Partai
Buku-buku kumpulan sajaknya Sahabat dan Yang Tak Terbungkamkan diterbitkan oleh Lekra, Jakarta.
Selama hidup sebagai orang eksilan, ia baru menerbitkan satu buku kumpulan sajak Kronologi in Memoriam 1953-1954.
Dan sajak-sajak yang sempat ditulisnya selama hidup di pengasingan masih tersimpan di laci belum sempat diterbitkan.
Di Amsterdam, ia sempat mengelola ruang kebudayaan di majalah Arah.
Agam Wispi pulang kembali ke Indonesia pada tahun 1996, dan menerbitkan kumpulan puisi "Pulang". (*)
(wen/tribun-medan.com)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com dengan judul SOSOK Agam Wispi, Penulis Sastra Eksil Asal Langkat yang Belajar Jurnalistik hingga ke Berlin