Pemekaran Papua
Soal DOB, Yan Mandenas: MRP Harus Baca Pasal Demi Pasal Agar Tak Mempermalukan Diri Sendiri
Aspirasi atau demonstrasi dikategorikan sebagai aspirasi kelompok, bukan aspirasi masyarakat adat, agama, dan perempuan Papua.
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Majelis Rakyat Papua (MRP) baru-baru ini bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna menyampaikan aspirasi masyarakat Papua soal penolakan pemekaran di Bumi Cenderawasih.
Menanggapi aspirasi yang didorong oleh MRP, Anggota DPR RI dapil Papua, Yan Permenas Mandenas menilai apa yang dilakukan MRP bukan tupoksinya.
"Kenapa saya harus bilang sifatnya politis, karena aspirasi yang MRP terima adalah aspirasi dari demonstrasi yang sarat akan kepentingan politik praktis," kata Yan Mandenas, Jumat (29/4/2022).
Baca juga: Yan Mandenas: MRP Keliru Tolak DOB, Bukan Tupoksinya!
Aspirasi atau demonstrasi dikategorikan sebagai aspirasi kelompok, bukan aspirasi masyarakat adat, agama, dan perempuan Papua.
"Kalau mereka (MRP) mau menjaring aspirasi adat Papua, maka mereka harus melakukan hearing dialog di tujuh wilayah adat yang ada di Papua dan Papua Barat. Nah, aspirasi itulah yang dibawa ke Menkopolhukan, DPR RI, dan Presiden," ujarnya.
Tapi nyatanya, saat MRP datang dan menyampaikan ke Pemerintah Pusat itu, tidak merepresentasikan masyarakat adat, perempuan, dan agama di Papua.
Kata Yan Mandenas, di Papua ada tujuh wilayah adat, dan diyakini tidak semua masyarakat Papua menolak pembentukan DOB.
"Nyatanya masyarakat wilayah adat Anim Ha (Papua Selatan) mendukung 100 persen mendukung adanya DOB Papua Selatan," katanya.
"Kemudian masyarakat adat Tabi dan Saireri juga mendukung pemekaran dilakukan. Di Meepago juga sebagian besar masyarakat mendukung adanya DOB," sambungnya.
Baca juga: MRP Bawa Aspirasi Tolak DOB ke Jokowi, Yan Mandenas Protes: Sarat Kepentingan Politik Praktis!
Yan Mandenas pun mempertanyakan kedatangan MRP ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi penolakan DOB dan Otsus tidak menggambarkan MRP sebagai lembaga kultur.
"MRP harus membaca pasal demi pasal agar tidak mempermalukan diri sendiri," ujarnya.
Sebanyak 82 Persen Masyarakat Papua Dukung DOB
Menkopolhukam Mahfud MD mengklaim sebanyak 82 persen rakyat Papua ingin agar ada pemekaran.
Hal itu berdasarkan hasil survei lembaga kepresidenan.
Baca juga: Mahfud MD Klaim 82 Persen Rakyat Papua Sepakat Pemekaran, Filep Wamafma: Mana Datanya?
"Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga kepresidenan itu malah 82 persen itu memang rakyat Papua itu memang minta pemekaran. Minta mekar," ujar Mahfud dalam keterangan persnya usai mengikuti pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka pada Senin (25/4/2022).
"Dan di sana kalau mau bicara setuju atau tidak (pemekaran) yang terbuka ke publik sama-sama banyak. Yang unjuk rasa mendukung, unjuk rasa yang tidak mendukung ada," lanjutnya.
Menanggapi pernyataan Mahfud MD, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mempertanyakan soal survey tersebut.
"Majelis Rakyat Papua mempertanyakan penyampaian dari Bapak Menko Polhukam terkait dengan 82 persen aspirasi.”
“Ini kajian dari mana, kajian kapan dilakukan, dan siapa yang melakukan kajian itu aspirasi?" kata Timotius di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/4/2022).
Timotius mengatakan, pemerintah semestinya mendengar aspirasi MRP yang menolak pemekaran wilayah.
Sebab, MRP adalah lembaga resmi yang ada di daerah sebagai perwakilan rakyat Papua.
Baca juga: Animha, Tabi, hingga Meepago Dukung Pemekaran, Lantas Aspirasi Masyarakat Adat Mana yang Dibawa MRP?
"Pemerintah pusat sesungguhnya harus mendengarkan aspirasi dari kami, karena kami adalah lembaga negara yang ada di daerah yang menyampaikan aspirasi masyarakat Papua," kata Timotius.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang mendampingi Timotius menambahkan, klaim 82 persen masyarakat Papua ingin pemekaran wilayah itu juga disampaikan saat MRP bertemu Presiden Joko Widodo pada Senin (25/4/2022) kemarin.
Tetapi, hal itu baru disebut di ujung pertemuan, sehingga pihaknya tidak bisa meminta penjelasan lebih jauh kepada pemerintah mengenai klaim tersebut.
"Kita tidak bisa mempersoalkan lagi karena waktu sudah habis, disebut begitu saja, tidak disebut apakah survei Indikator, SMRC atau kapan dilakukannya, berapa responden, di kabupaten Papua yang mana, tidak ada," ujar Usman. (*)