Pemekaran Papua
KontraS Khawatir Pembentukan 3 DOB Papua Memperuncing Konflik Warga yang Menolak dengan Aparat
KontraS khawatir disahkannya pembentukan 3 Daerah Otonomi Baru (DOB) baru di Papua bakal memperuncing konflik dengan aparat keamanan.
TRIBUN-PAPUA.COM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) khawatir disahkannya pembentukan 3 Daerah Otonomi Baru (DOB) baru di Papua bakal memperuncing konflik dengan aparat keamanan.
Diketahui, DPR telah mengesahkan tiga rancangan Undang-undang (RUU) DOB Papua yakni Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan, pada 30 Juni 2022.
KontraS menyampaikan bahwa konflik bisa muncul dari masyarakat yang menolak pemekaran Papua dan penambahan aparat keamanan sebagai konsekuensi munculnya DOB.
Baca juga: Petisi Rakyat Papua Bakal Gelar Aksi Nasional 14 Juli, Jefry Wenda: Kami Tolak Undang-undang DOB

"Kami mengkhawatirkan bahwa pasca-pengesahan DOB ini akan memperuncing konflik yang terjadi di Papua antara masyarakat yang menolak dengan aparat keamanan," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (4/7/2022).
"Sebelumnya, dalam gelombang penolakan masyarakat Papua terhadap DOB (daerah otonomi baru) disikapi dengan brutal dan represif sehingga menimbulkan banyak korban jiwa," lanjutnya.
Pembentukan 3 provinsi baru di Papua ditengarai merupakan hasil dari cara pandang "sekuritisasi" alias pendekatan keamanan.
Dibentuknya provinsi baru di Papua dinilai bakal menjadi legitimasi pengarahan aparat secara besar-besaran menuju Bumi Cenderawasih, sebab provinsi baru otomatis akan menambah satuan keamanan baik kepolisian maupun militer.
Baca juga: Pengesahan UU DOB Disebut jadi Bom Waktu, KNPB: Jakarta Memaksa, Rakyat Papua Menolak!
"Sebagai contoh, provinsi baru otomatis akan memunculkan Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor (Polres), Kepolisian Sektor (Polsek) Polsek, hinga pos-pos polisi baru di Papua. Hal ini terbukti dari langkah kepolisian yang ingin menyegerakan pembangunan Polda di tiga provinsi baru tersebut," ungkap Rivanlee.
Pendekatan keamanan beserta pemekaran Papua dinilai tak lepas dari kepentingan ekonomi-bisnis di Papua.
Selama ini, arus investasi bisnis ekstraksi/pertambangan di Papua kerap ditolak warga hingga bupati dan gubernur karena potensi dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya, kendati nilai investasinya menggiurkan.
"Selama ini, di berbagai lokasi seperti Kabupaten Intan Jaya disinyalir memiliki kekayaan alam melimpah sehingga sangat menggiurkan untuk dieksploitasi," ujar Rivanlee.
"Pemecahan wilayah tentu saja dapat dijadikan sebagai siasat untuk memperlancar aktivitas pertambangan tersebut," kata dia.
KontraS menegaskan bahwa pembentukan Provinsi baru berbahaya dan tidak akan mencoba permasalahan struktural di Papua, terlebih pembentukan 3 provinsi baru ini dilakukan secara buru-buru dan tidak partisipatif.
Baca juga: Bupati Puncak Willem Wandik Sebut Pemekaran 3 Provinsi Jadi Berkat bagi Masyarakat Papua
Pengesahan RUU 3 DOB Papua Dinilai Rawan Inkonstitusional
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan bahwa tiga undang-undang terkait pembentukan tiga provinsi baru di Papua ini rawan dinyatakan inkonstitusional.
Sebab, pemekaran wilayah ini dilakukan pemerintah dan DPR tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku lembaga negara representasi kultural orang asli Papua.
Dalam revisi kedua atas Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (Otsus), yakni UU Nomor 2 Tahun 2021, DPR memang mengubah kewenangan pemekaran wilayah di Papua pada UU Otsus sebelumnya dari yang mulanya harus berdasarkan persetujuan MRP menjadi dapat ditempuh pemerintah pusat dan DPR tanpa menunggu persetujuan MRP.
Revisi tersebut juga tak melibatkan MRP.
Adapun MRP lantas melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 ini.
Proses ajudikasi masih berlangsung, dengan sidang terakhir mendengarkan keterangan ahli presiden pada 17 Mei 2022.
Baca juga: Warga Merauke Kibarkan Merah Putih Raksasa Sambut Pengesahan DOB di Ibu Kota Provinsi Papua Selatan
"Prediksi yang bisa diketengahkan bahwa undang-undang terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan jadi inkonstitusional seandainya MK mengabulkan permohonan dari MRP," kata Usman dalam konferensi pers virtual pada Kamis (30/6/2022) siang.
Usman menilai, ada dua kemungkinan putusan MK untuk menyatakan revisi kedua UU Otsus inkonstitusional.
Pertama, beleid itu dibatalkan secara normatif alias melanggar konstitusi.
"Misalnya dianggap melanggar Pasal 18 B UUD 1945 tentang negara menghormati satuan-satuan wilayah beserta hak-hak tradisional atau ulayat yang mereka miliki," kata dia.
"Kemungkinan kedua, dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau seperti Undang-Undang Cipta Kerja, diberikan waktu untuk memperbaikinya," ucap Usman.
Usman menyatakan bahwa apa yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam membentuk tiga provinsi baru di Papua, tanpa melibatkan MRP, menguatkan wajah otoritarian negara belakangan ini.
Adapun undang-undang pembentukan provinsi baru di Papua disahkan hanya dalam kurun 2,5 bulan, dihitung sejak rancangan undang-undang (RUU) itu disahkan sebagai inisiatif DPR pada 12 April 2022.
"Ini bukti pemerintahan kita berjalan ke tatanan yang tidak demokratis, tidak ada desentralisasi. Adanya resentralisasi atau pemusatan kekuasan kembali dari daerah ke pusat," ujar Usman. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul 3 Provinsi Baru Papua Disahkan, Konflik dengan Aparat Dikhawatirkan Kian Runcing dan Pengesahan 3 UU Provinsi Baru di Papua Saat UU Otsus Masih Diuji Dinilai Rawan Inkonstitusional