ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Gubernur Lukas Enembe Diperiksa KPK

Belum Putuskan Jemput Paksa Lukas Enembe, KPK: Kami Tak Ingin Langgar Hukum saat Menegakkan Hukum

KPK kembali buka suara saat ditanya soal upaya menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe yang jadi tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri - KPK kembali buka suara saat ditanya soal upaya menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe yang jadi tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. 

TRIBUN-PAPUA.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali buka suara saat ditanya soal upaya menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek yang bersumber dari APBD Papua.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri memberikan jawaban diplomatis mengenai kemungkinan upaya menjemput paksa Lukas Enembe.

Menurutnya, dalam menangani kasus Lukas Enembe, KPK harus memperhatikan mekanisme dan cara yang diatur oleh ketentuan undang-undang, hukum acara pidana, Undang-Undang KPK, atau Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Ia juga menegaskan KPK butuh analisis mendalam sebelum melakukan penjemputan paksa terhadap Lukas Enembe.

Baca juga: UPDATE Kesehatan Lukas Enembe Pasca-diperiksa KPK, Ini Kata Pengacara Aloysius Renwarin

Ketua KPK Firly Bahuri menyalami Gubernur Papua Lukas Enembe ketika hendak diperiksa di kediaman pribadi Lukas di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, Kamis (3/11/2022).
Ketua KPK Firly Bahuri menyalami Gubernur Papua Lukas Enembe ketika hendak diperiksa di kediaman pribadi Lukas di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, Kamis (3/11/2022). (DOK TIM HUKUM DAN ADVOKASI GUBERNUR PAPUA)

"Seluruh proses itu kami pastikan akan kami lakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Kalau kemudian pada saatnya memang dibutuhkan ada penjemputan paksa terhadap seorang tersangka, ya pasti kami lakukan, tapi tentu kami harus lakukan analisis mendalam bahwa kami tidak ingin melanggar hukum ketika menegakan hukum," kata Ali lewat pesan suara, Selasa (8/11/2022).

Ali menambahkan bahwa penegakan hukum haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

"Itu yang kemudian selalu kami perhatikan, bahwa jemput paksa itu ketentuan normatif di dalam hukum acara pidana, ada ruang untuk itu, di dalam Pasal 112 Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP itu ada, ketika misalnya seorang tersangka mangkir tidak ada sama sekali konfirmasi untuk hadir pada panggilan yang pertama, yang kedua, baru yang ketiganya diambil atau dijemput paksa, itu bisa dilakukan," jelasnya.

Sebagai informasi, istilah penjemputan atau pemanggilan paksa sebenarnya tidak tertera di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Baca juga: ICW Kritik Ketua KPK yang Datangi Lukas Enembe di Papua, Anggap seperti Lelucon: Urgensinya Apa?

Dilansir dari peradi-dpcsurabaya.or.id, istilah yang ada di KUHAP adalah “dihadirkan dengan paksa”.

Penjemputan paksa pun juga perlu dimaknai secara berbeda dengan penangkapan.

Penjemputan paksa dilakukan setelah pemanggilan yang dilakukan sebanyak dua kali tidak terpenuhi.

Sementara itu, penangkapan dapat dilakukan tanpa melakukan pemanggilan terlebih dahulu.

Pasal 112 ayat 2 KUHAP mengatur bahwa orang yang dapat dijemput secara paksa adalah tersangka atau saksi.

Pasal tersebut berbunyi: “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.

Baca juga: Polemik Firli Bahuri Datangi Lukas Enembe, Anggota DPR Sebut KPK Pertimbangkan Potensi Konflik

Karena itu, tersangka maupun saksi yang tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali akan dijemput secara paksa.

Indikator lain yang perlu mendapat perhatian adalah unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk menjemput paksa seseorang.

Dalam Pasal 17 KUHAP, penjemputan paksa seseorang harus diawali dengan bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana.

Adapun perihal bukti permulaan yang cukup diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Pasal tersebut mengatur bahwa hakim tidak boleh “... menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Baca juga: Ketua IM57+ Kritik Ketua KPK yang Datang ke Rumah Lukas Enembe: Mengapa Diperlakukan Istimewa?

Diketahui, Lukas Enembe telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek yang bersumber dari APBD Papua pada awal September 2022.

Namun, KPK belum berhasil melakukan pemeriksaan terhadap Lukas Enembe yang selalu beralasan sakit.

Ditambah lagi, sejumlah massa berkerumun di depan rumah Lukas Enembe di Papua.

Oleh karena itu KPK dan tim dokter IDI memutuskan untuk ke Papua guna melakukan pemeriksaan terhadap Lukas Enembe.

Setelah memeriksa Lukas Enembe di Papua, KPK belum memutuskan untuk melakukan upaya penjemputan paksa.

(Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Jawaban Diplomatis KPK soal Upaya Jemput Paksa Gubernur Papua Lukas Enembe

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved