ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Opini

Sinergitas Pengadilan dan Peradilan Adat dalam Sengketa Pertanahan di Tanah Papua

Pengadilan dan peradilan adat yang ada di Papua memiliki peran sentral dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat hukum adat.

|
Tribun-Papua.com/Istimewa
Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Papua, Methodius Kossay. (Dok.Pribadi) 

Oleh :

Dr. Methodius Kossay, S.H,.M.Hum (Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Provinsi Papua)

EKSISTENSI masyarakat hukum adat di Indonesia diatur secara jelas dalam UUD 1945 pada pasal 18B ayat ( 2) yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan di atas memberikan legitimasi yang kuat terhadap eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia, serta adanya pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.

Secara umum, keberadaan masyarakat hukum adat tidak terlepas dari hukum adat.

Hukum adat sendiri dipahami sebagai hukum yang hidup dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu di suatu wilayah.

Baca juga: Sambangi Dilmil III 19 Jayapura, Komisi Yudisial Papua: Kami Menjaga Marwah Pengadilan

Hukum adat merupakan aturan kebiasaan manusia dalam hidup berdampingan antar sesama masyarakat.

Hal ini tidak terlepas dari munculnya istilah “Ubi Societas, ibi ius” yang artinya “ (dimana ada masyarakt di sana ada hukum); yang mengindikasi bahwa masyarakat tidak terlepas dari eksistensi hukum.

Istilah ini sejalan dengan salah satu aliran sistem hukum dalam ilmu hukum yaitu Sociological Jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pond, Eugen Ehlissch, dkk.

Inti dari aliran ini menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hukum yang hidup dalam masyarakat ini dimaknai sebagai hukum adat atau hukum kebiasaan yang hidup dan bertumbuh dalam masyarkat hukum adat.

Dalam konteks Papua, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 perubahan kedua atas undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sampai saat ini, pemberlakukannya memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat di Tanah Papua.

Terlepas dari pro dan kontra lahirnya undang-undang otonomi khusus Papua atau disingkat Otsus Papua ini, kini menjadi dasar legitimasi yang kuat.

Peraturan turunan dari Otsus Papua yaitu peraturan daerah khusus Papua ( perdasus ) nomor 21 tahun 2008 tentang peradilan adat di Papua.

Dalam pertimbangannya cukup jelas menyatakan bahwa peradilan adat di Papua diberlakukan dalam mewujudkan keadilan penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM), percepatan pembangunan ekonomi, kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan.

Salah satu kekhususan otonomi bagi Provinsi Papua adalah adanya penyelenggaraan pengadilan adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

Pada kenyataannya kehidupan masyarakat adat di Papua masih terus memberlakukan, mempertahankan dan tunduk pada pengadilan adatnya masing-masing terutama dalam penyelesaian perkara adat yang terjadi di antara sesama warga masyarakat hukum adat.

Kenyataan ini makin diperkuat dengan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Praktek penegakan hukum di Papua menunjukkan perkara pidana yang ditangani oleh pengadilan negara yang keputusannya sudah berkekuatan hukum tetap.

Namun, pihak korban biasanya menuntut pelaku melalui pengadilan adat dengan sanksi yang berat sehingga berdampak terhadap gangguan keamanan dan ketertiban/masyarakat di Papua.

Keprihatinan dan antisipasi tentu memerlukan sinergitas antara peradilan negara dan pengadilan adat dalam menangani berbagai perkara yang terjadi dalam masyarakat.

Untuk mengimplementasi kekhususan dalam Otsus Papua dalam bentuk penyelenggaraan pengadilan adat, mencermati situasi dan kondisi penegakan hukum, maka diperlukan sinergitas tinggi dari pihak peradilan dan pengadilan adat dalam menangani berbagai bentuk perkara yang terjadi dalam masyarakat hukum adat di Papua.

Keberadaan peradilan adat di Papua diatur secara khusus dalam peraturan khusus daerah (perdasus) Papua nomor 21 tahun 2008 tentang peradilan adat Papua.

Di mana dalam pasal 1 ayat ( 16 ) berbunyi; Peradilan adat adalah suatu sistim penyelesaian perkara yang hidup dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua. Sehingga diperlukan kolaborasi dan sinergitas pengadilan dan peradilan adat di Papua; untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum bagi pencari keadilan, dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan masyarakat hukum adat.

Dinamika hidup masyarakat Papua sangat menjujung tinggi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Memiliki aturan atau norma yang diatur berdasarkan kesepakatan bersama dan diyakini secara turun temurun oleh masyarakat hukum adat akan memberikan dampak positif dalam kedamaian dan ketertiban di lingkungan masyarakat hukum adat.

Seiring berkembangan modernitas, permasalahan dalam masyarakat hukum adat tidak terbendung terutama dalam kasus-kasus yang marak terjadi yaitu mengenai hak ulayat dalam hal pelepasan hak atas tanah adat di Papua.

Baca juga: Pemerintah Diminta Segera Bayar Ganti Rugi Lahan Bandara Sentani, 55 Hektare Tanah Adat Dirampas?

Berkaitan dengan hal tersebut, eksistensi pengakuan negara terhadap keberadaan hak ulayat tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan peraturan daerah khusus Papua (perdasus) nomor 21 Tahun 2008 tentang peradilan adat Papua.

Tentu hakim dalam memutuskan perkara dalam pertimbangan hakim tidak terlepas dari peraturan yang disebutkan di atas.

Hal ini sangat penting mengingat keberadaan subjek sebagai masyarakat hukum adat dan hak-hak yang terakomodir dalam peraturan tersebut, sehingga memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum bagi pencari keadilan.

Pertemuan pihak masyarakat Pemilik tanah Bandara Sentani dan Pihak BPN Jayapura, Selasa (13/6/2023).
Pertemuan pihak masyarakat Pemilik tanah Bandara Sentani dan Pihak BPN Jayapura, Selasa (13/6/2023). (Tribun-Papua.com/Hendrik Rewapatara)

Dalam konteks pelepasan hak adat atas tanah yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat di Papua, harus didasarkan atau dibuktikan dengan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat.

Artinya, bahwa penyerahan tanah adat yang dilakukan harus juga disertai dengan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Adat -- yang menjadi dasar yang kuat adanya peralihan hak milik atas tanah adat dari pihak yang melepaskan kepada pihak yang menerima.

Surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat yang dijadikan dasar hukum bagi masyarakat hukum adat di Papua untuk melepaskan hak atas tanahnya bervariasi legitimiasinya dan validasinya.

Maka, ada kalanya hakim mensyaratkan hanya surat pernyataan pelepasan yang dinilai memiliki kekuatan pembuktian adalah surat yang diketahui oleh kepada kelurahan dan kepada distrik, yang disahkan oleh kepada kecamatan dan dilegitimitasi oleh lembaga adat yang ada di Papua.

Persoalan hukum yang sering terjadi adalah sertifikat tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai bukti legitimasi yang kuat, namun pada kenyataannya tidak cukup hanya sertifikat tetap ada bukti surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat, karena objek sengketa melibatkan masyarakat hukum adat.

Dan juga tidak terbatas pada pertimbangan-pertimbangan hakim dalam pembuktian yang berkaitan dengan kasus pertanahan di Tanah Papua.

Maka sebagaimana yang dijelaskan di atas, dengan lucus objek yang dipersengketakan berada dalam lingkungan masyarakat hukum adat maka hakim perlu menggali dan menganalisis lebih mendalam mengenai hukum adat di Tanah Papua.

Selain alat bukti surat, dalam pelepasan hak atas tanah adat dalam masyarakat hukum adat, juga menggunakan saksi.

Saksi ini akan memperkuat pembuktian bahwa ada pihak lain yang mengetahui, melihat dan menyaksikan pelepasan hak atas tanah adat tersebut.

Saksi yang dihadirkan ini bisa berasal dari anggota keluarga, kerabat, kepala kampung, penghulu kampung, lembaga adat, dewan adat atau lainnya.

Dalam persidangannya atau dalam mediasi, saksi yang dihadirkan tersebut menerangkan bahwa yang bersangkutan mengetahui bahwa telah terjadi pelepasan hak atas tanah adat dan siapa saja para pihak yang terlibat.

Khusus saksi yang berasal dari otoritas negara dan adat, mereka memberikan kesaksian bahwa telah menandatangani surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat tersebut.

Kesaksian dari otoritas negara dan adat yang demikian memiliki nilai besar dalam pembuktian.

Namun, bukan berarti kesaksian dari anggota keluarga atau kerabat dikesampingkan oleh majelis hakim.

Karena tidak semua kasus dapat menghadirkan otoritas negara atau adat sebagai saksi.

Sejauh ini, meskipun hakim mengakui keberlakuan hukum adat dan cenderung menyerahkan keabsahan pelepasan tanah pada otoritas adat, tetapi hakim juga menetapkan batasan-batasan dalam pengakuannya tersebut.

Dalam pembuktian mengenai keabsahan pelepasan tanah, hakim cenderung mengakui pelepasan hak yang didukung oleh bukti surat dan validasi otoritas adat.

Tanpa keduanya, hakim masih belum berani melangkah jauh untuk mengakui keabsahan hak maupun pelepasan hak yang dilakukan menurut hukum adat. 

Pertimbangan hakim sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan, majelis hakim menilai surat pelepasan hak adat harus mendapatkan validasi.

Validasi ini berbeda dari satu kasus ke kasus yang lain.

Ada kalanya hakim mensyaratkan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat harus diketahui oleh lurah dan kepala distrik, disahkan oleh camat, dan dilegitimasi oleh lembaga adat setempat.

Ada kalanya cukup dengan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat yang diketahui oleh lurah dan kepala distrik atau camat.

Dengan demikian, pengadilan dan peradilan adat yang ada di Papua memiliki peran sentral dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat hukum adat yang ada di tanah Papua.

Sinergitas antara pengadilan dan peradilan adat yang ada di Papua sangat dibutuhkan saat ini, terutama dalam memberikan masukan, pandangan dan informasi kepada hakim di pengadilan yang berkaitan dengan sengketa pertanahan khususnya dalam hal pelepasan hak atas tanah adat.

Oleh karena itu, perlu didorong untuk memberikan bimbingan teknis atau sosialisasi rutin dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sekali kepada para hakim yang sedang bertugas di Papua.

Mengingat, durasi mutasi hakim yang diketahui selama ini hanya paling lama 3 tahun.

Baca juga: Sertifikat Tanah Bandara Sentani Tanpa Pelepasan Adat, Ini Penjelasan BPN Jayapura

Bimbingan teknis dan sosialisasi ini perlu dilakukan mengingat para hakim yang sedang bertugas di pengadilan Papua baru bermutasi dari luar Papua yang notabene-nya belum mengetahui masyarakat hukum adat di Tanah Papua.

Kegiatan sosialisasi atau bimbingan teknis yang diberikan kepada para hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial yang merupakan bagian dari peningkatan kapasitas hakim khususnya dalam hukum adat.

Kegiatan ini bisa dilakukan dengan penjajakan kerja sama terlebih dahulu antar Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia ( APHA).

Penjajakan kerja sama yang diuraikan di atas tidak terlepas dan seirama dengan informasi yang diberitakan melalui media antarnews.com (selasa,8/11/2022), yang disampaikan oleh Ketua Komisi Yudisial Prof Mukti Fajar Nur Dewata sepakat untuk melakukan kerjasama dengan Ketua Hukum Adat ( APHA) Indonesia Dr. Laksanto Utomo terkait dalam hal penelitian hukum dan peningkatan kapasitas hakim, khususnya terkait hukum adat.  (*)

Sumber referensi :

  • Pasal 18 (2) UUD 1945
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA)
  • Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat Papua
  • Zulkarnaen, 2018, Dinamika Sejarah Hukum dari Filosofi hingga Profesi Hukum; Bandung, Pustaka Setia;
  • Dictum-Jurnal Kajian Putusan pengadilan ; Pelepasan Hak atas Tanah Adat oleh Masyarakat Hukum Adat Papua: Studi Putusan Pengadilan Almonika Cindy Fatika Sari, Sartika Intaning Pradhani, dan Tody Sasmitha Jiwa Utama.
  • https://www.antaranews.com/berita/3230445/ky-apha-sepakat-tingkatkan-kapasitas-hakim-terkait-hukum-adat
Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved