ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Rubrik Budaya

SEJARAH: Papua Menyatu dengan Nusantara Sejak Masa Kerajaan Majapahit

Majapahit telah menyatukan Nusantara dari Nusa Tenggara sampai Irian Barat, terbukti dari sebutan Lombok, Sumba, Makassar, dan Buton.

|
ISTIMEWA
FESTIVAL BUDAYA - Sebanyak 5.000 wisatawan ditargetkan hadir, termasuk 103 turis asing yang dipastikan berkunjung ke Wamena, Papua Pegunungan, mengikuti Mini Festival Lembah Baliem selama 3 hari, mulai 8 hingga 10 Agustus 2022 mendatang, Rabu (3/8/2022). 

Empat bangsa Eropa ini lebih dulu ada di Papua.

Nama Papua pertama kali diberi oleh seorang Portugis, Don Jorge de Meneses, 1527.

ILUSTRASI Suku Asmat yang dikenal dengan hasil ukiran kayu unik
ILUSTRASI Suku Asmat yang dikenal dengan hasil ukiran kayu unik (onwestpapua via Tribun Travel)

Ia berlayar dari Semenanjung Malaya menuju daerah rempah-rempah, kemudian menemui sebuah pantai dari sebuah pulau besar, dan memberi nama pulau itu dalam bahasa melayu kuno, yakni ”Papuwah”, artinya ‘orang berambut keriting’.

Saat yang sama datang seorang pemimpin armada spanyol, Alvaro de Saavedra. Ia menyebut Papua dengan nama ”Isla del Oro”, artinya Pulau Emas.

Ia menemukan pulau itu saat diutus Gubernur Spanyol di Maluku berkedudukan di Tidore untuk pergi ke Meksiko.

Ia singgah di Pantai Utara Papua dan melihat pulau itu sangat indah dan kaya sumber daya alam.

Setelah penyebutan pulau emas, bangsa-bangsa Eropa yang disebutkan di atas berdatangan ke Papua.

Kehadiran mereka kemudian diusir Belanda.

Belanda menilai Papua wilayah jajahannya sama seperti daerah Indonesia lain.

Kehadiran Belanda di Papua pada 1528 ditandai dengan pembangunan Benteng Fort du Bus di Teluk Triton, di Kaki Gunung Lumenciri, Papua Barat.

Awalnya Belanda kurang peduli dengan Irian Barat karena dinilai kurang menguntungkan.

Tetapi, setelah ada penemuan dari bangsa Spanyol dengan sebutan Pulau Emas, Belanda mulai tertarik dan menggeser kekuasaan dari Maluku menuju Papua.

Saat itu, Inggris dan Jerman menguasai Papua bagian timur atau Irian Timur.

Perhatian Belanda kian terpusat dengan dialokasikan anggaran senilai 115.000 gulden oleh Parlemen Belanda untuk mendirikan pemerintahan Belanda di Irian Barat pada tahun 1898

Saat itu pula Irian Barat dibagi menjadi dua wilayah, yakni Afdeeling Noord Nieuw Guinea (bagian utara), dan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea (Papua barat dan selatan).

Kedua Afdeeling ini merupakan bagian dari Keresidenan Maluku.

Sejak saat itu pula VOC mulai berkuasa di Irian Barat.

Sistem monopoli yang diterapkan Belanda, selain mengurangi kesempatan rakyat berdagang, juga Belanda sering mencampuri urusan internal suku-suku di Papua.

Kebencian terhadap Belanda mulai muncul.

Tahun 1870, Raja Tidore Nuku memimpin perlawanan terhadap Belanda di Raja Ampat.

Nuku berhasil mengadu domba Belanda dengan Inggris (Irian Timur) sehingga ia dapat mengusir Belanda dari Tidore,  Maluku, dan Raja Ampat dan Irian Barat.

Kemenangan Nuku ini didukung rakyat Irian Barat.

Pengrajin kulit kayu dari Kampung Asei, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Tresia Ohee (39) berpameran pada Festival Noken Papua bertajuk 'Mother and Earth' di PYCH Kota Jayapura. Tampak karya ukiran motif Yoniki (kanan) pada serat kayu.
Pengrajin kulit kayu dari Kampung Asei, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Tresia Ohee (39) berpameran pada Festival Noken Papua bertajuk 'Mother and Earth' di PYCH Kota Jayapura. Tampak karya ukiran motif Yoniki (kanan) pada serat kayu. (Tribun-Papua.com/Putri Kurita)

Tahun 1934, Raja Kokas di Teluk Bintuni, M Rumagesang Al Alam Umar Sekar, menolak menyerahkan uang hasil tambang yang diterima dari rakyat kepada Belanda.

Uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat. Rumagesang ditangkap Belanda dan dipenjara di Jayapura pada 1945.

Dia adalah orang pertama yang  menuntut agar Papua disatukan dengan Indonesia, yang saat itu baru memproklamasikan kemerdekaannya.

Kebencian rakyat Papua kepada Belanda meluas di seluruh Papua, sebagaimana tertulis dalam buku Irian Damai karya MR Dayoh. 

Baca juga: Melihat Pesta Adat Arapao, Tradisi Turun-temurun Masyarakat Suku Kamoro Papua

Ia seorang saksi mata.

Saat rombongan ekspedisi Belanda yang dipimpin Van EE Choud tiba di Lembah Baliem pada 1945, rombongan ini ditolak penduduk Baliem.

Van EE Choud sendiri terkena panah. Tim ekspedisi ini pun meninggalkan Baliem menuju Maluku.

Menyusul kemudian sejumlah gerakan melawan Belanda di Irian Barat.

Masyarakat Suku Kamoro di Mimika, Papua saat sedang menanam salib besar membuat kuburan kosong atas meninggalnya Pastor Le Cocq pada 27 Mey 1896 di Kampung Kipia, Mimika Barat, Kabupaten Mimika, Papua.()
Masyarakat Suku Kamoro di Mimika, Papua saat sedang menanam salib besar membuat kuburan kosong atas meninggalnya Pastor Le Cocq pada 27 Mey 1896 di Kampung Kipia, Mimika Barat, Kabupaten Mimika, Papua.() (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Para pemimpin pemberontakan terhadap Belanda saat itu, antara lain, Sugoro dan Kolonel Abdul Kadir Djojoatmojo.

Sementara pemimpin perang dari penduduk asli Irian Barat, antara lain, Martin Indey, Rumkorem, Silas Papare, dan Frans Kaisiepo.

Ketika Indey dibuang Belanda di Serui, ia bertemu dengan Dr Samratulangi yang sudah lebih dahulu dibuang di sana.

Keduanya pun menyusun strategi mengusir Belanda dari Papua bersama masyarakat Papua lainnya saat itu.

Penyatuan Irian Barat atau Papua ke dalam NKRI sama dengan menjejaki kembali kekuasaan Kerajaan Majapahit kedelapan di wilayah itu.

Cita-cita Majapahit menyatukan seluruh Nusantara terwujud kekal.

Juga jejak sejarah kerajaan Sriwijaya yang telah membangun hubungan dagang dengan Papua pada abad VII, disatukan, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Berbeda-beda, tetapi tetap satu. (*)

Artikel ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan klik dan berlangganan. 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved