Breaking News
ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Nasional

Ratusan Mahasiswa Puncak se-Jabodetabek Geruduk Kantor Kemendagri, Ada Apa?

Warga di Puncak mengalami krisis kemanusiaan dan ribuan orang asli Papua terpaksa mengungsi ke Kabupaten Mimika, Nabire, Jayapura.

Tribun-Papua.com/Istimewa
AKSI MASSA - Ratusan mahasiswa asal Kabupaten Puncak di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menamakan diri Front Gerakan Organik Melawan Eksistensi (FGOME) saat menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (15/7). Foto: Istimewa 

TRIBUNPAPUA. COM, JAYAPURA - Ratusan mahasiswa asal Kabupaten Puncak di wilayah Jakarta, Bobor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025). 

Massa menamakan diri Front Gerakan Organik Melawan Eksistensi (FGOME).

Aksi demo digelar mencermati berbagai fakta terkait kejahatan terhadap warga sipil Papua di Kabupaten Puncak selama dua rezim kepemimpinan mulai era Pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga memasuki era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raya disertai peran TNI di Puncak.

“Sejak awal menjadi daerah otonom baru, terutama sejak 2018 hingga 2025, Kabupaten Puncak menjadi salah satu wilayah konflik bersenjata paling parah di tanah Papua."

"Banyak warga sipil menjadi korban dari konflik antara aparat negara dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB),” ujar Deris Murib, perwakilan unjuk rasa kepada wartawan di Jakarta.

Baca juga: Elvis Tabuni: Keamanan di Kabupaten Puncak Papua Tengah Berangsur Kondusif

Menurut Deris, pemekaran wilayah selama ini, termasuk rencana pembentukan DOB lanjutan di tanah Papua malah dipertanyakan efektivitas dan niat sebenarnya. 

Pasalnya, kehadiran DOB dan rencana pembentukan DOB susulan akan dibarengi dengan langkah operasi militer besar-besaran yang berujung terjadi peningkatan eskalasi kekerasan terhadap orang asli Papua.


Deris juga menegaskan, era Presiden Jokowi pemerintah pusat mengusung pembangunan infrastruktur di tanah Papua sebagai bagian dari Program Nawacita.

Namun, pembangunan jalan, bandara, dan Proyek Strategis Nasional (PSN) justru dibarengi dengan operasi militer secara masif yang ditujukan ke Puncak atas nama ‘menjaga stabilitas’. 

SITUASI PUNCAK TERKINI - Bupati Puncak, Elvis Tabuni  dan wakilnya, Naftali Akawal (kanan) memberikan keterangan pers di Jayapura, Jumat (23/5/2025) soal pengungsian warga di daerah, sekaligus membantah mosi tidak peryaya mahasiswa terhadap DPRD dan pemerintah untuk langkah pemulihan.
SITUASI PUNCAK TERKINI - Bupati Puncak, Elvis Tabuni dan wakilnya, Naftali Akawal (kanan) memberikan keterangan pers di Jayapura, Jumat (23/5/2025) soal pengungsian warga di daerah, sekaligus membantah mosi tidak peryaya mahasiswa terhadap DPRD dan pemerintah untuk langkah pemulihan. (Tribun-Papua.com/Paul Manahara Tambunan)

“Operasi militer di Puncak malah menghasilkan peningkatan jumlah pengungsi internal yang dalam taksasi kami sejak 2018 hingga 2024 mencapai lebih dari 60.000 orang. Sebagian besar pengungsi di Puncak berasal dari Distrik Gome, Ilaga, Beoga, dan Sinak."

"Penggerebekan kampung atau desa secara membabi buta, termasuk pembakaran rumah dan gedung Gereja GKII sejak Maret–April 2023 adalah contoh miris nyata,” ujar Deris.

Deris menambahkan, terjadi penembakan dan pembunuhan warga sipil atas nama Meton Magay (21), Derminus Waker (20), dan Wanimbo (32) di Ilaga. Kemudian, Tarina Murib, seorang perempuan Papua tewas tertembak aparat pada 3 Maret 2023 di Desa Pamebut.

Belum lagi stigmatisasi kolektif terhadap orang asli Papua sebagai bagian dari kelompok separatisme memicu penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan trauma berkepanjangan. 

“Pelibatan aparat TNI-Polri dan militerisasi kehidupan sipil tak hanya terbatas pada operasi keamanan tetapi masuk juga ke berbagai ruang publik seperti sekolah dan fasilitas kesehatan."

"Banyak warga takut dan mengalami kesulitan dalam akses layanan dasar karena kehadiran militer dianggap warga sebagai ancaman langsung, bukan menjadi pelindung masyarakat,” katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved