Cerita
Tragedi Irene Sokoy Bongkar Bobroknya Rantai Rujukan dan Ketersediaan Dokter Obgyn di Ibu Kota Papua
Irene Sokoy meninggal dunia bersama bayi dalam kandungannya setelah mengalami penolakan layanan medis di beberapa rumah sakit di Jayapura.
Penulis: Putri Nurjannah Kurita | Editor: Paul Manahara Tambunan
Ringkasan Berita:
- Keluarga memutuskan untuk membawa Irene ke RSUD Jayapura. Dalam perjalanan turunan Skyline menuju ke Entrop sekira pukul 4.00 WIT, Abraham menyaksikan Irene menghembuskan nafas terakhirnya.
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita
TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Irene Sokoy, seorang ibu hamil asal Kampung Hobong, Sentani, meninggal dunia bersama bayi dalam kandungannya setelah mengalami penolakan layanan medis di beberapa rumah sakit di Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua.
Irene Sokoy perempuan kelahiran 19 Januari 1994.
Pada Minggu (16/11/2025), sore sekira pukul 2.00 WIT mertua almarhumah, Abraham Kabey menerima telepon dari Irene mengatakan bahwa dirinya akan segera melahirkan.
Waktu itu, kebetulan ada keluarga yang sedang dirawat oleh keluarga mertuanya di Rumah Sakit Umum (RSUD) Yowari.
Abraham pun meminta Irene dan suaminya ke sana untuk persiapan melahirkan.
"Bapa dan mama saya sudah rasa mau melahirkan," kata Abraham, menirukan suara Irene.
"Oke sudah mari kami di rumah sakit Yowari," kata lagi.
Irene masuk di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), lalu dipindah ke ruangan bersalin.
Keluarga besar menunggu di luar ruangan sementara, yang menemani adalah suaminya, Neil Kastro Kebey (35).
Tak lama berselang keluarga mendengar bahwa air ketuban sudah pecah dan sudah mau melahirkan.
Baca juga: Papua Darurat Kesehatan: Ibu Hami Irene Sokoy Meninggal, Ditolak Sejumlah RS di Jayapura
Tetapi ternyata hingga pukul 1.00 WIT dini hari Irene masih belum melahirkan. Bayi yang dikandung Irene dengan berat 4 kilogram.
Kata Abraham, anak mantunya itu kesulitan melahirkan.
Irene adalah seorang kader di Posyandu Kampung Hobong. Irene dan Neil memilki dua orang anak berusia 11 dan 6 tahun.
Di RSUD Yowari, kata Abraham, Irene ditangani oleh dua orang perawat.
Abraham mengatakan, keluarga belum bertemu dengan dokter sejak sore hari, sampai tengah malam perawat mengatakan, kondisi Irene harus harus dioperasi tetapi dokter Obgyn sedang berada di luar kota.
"Mama (istri Abraham) dengan anak perempuan ribut di rumah sakit dan bertanya, jalan keluar sempit karena berat anak hingga 4 kilogram, kalau begitu bisa jalan lain operasi, mereka bilang tidak ada dokter, saya bilang kenapa tidak bilang dari tadi," ujar Abraham kepada perawat.
Setelah berkomunikasi dengan dokter petugas bilang, sudah ada rujukan ke Rumah Sakit Dian Harapan. Mereka pun bergegs ke sana.
Di dalam ambulas Irene didampingi dengan dua bidan, sebuah alat oksigen berukuran kecil, mertua perempuan, kaka ipar pasien dan Abraham.
Tiba di Rumah Sakit Dian Harapan, Abraham berbicara dengan petugas, sementara pasien di dalam ambulans.
Namun, petugas menolak memeriksa kondisi pasien. "Mereka bilang tidak bisa, itu saja yang mereka bilang," katanya.
Diputuskan Abraham, anak mantunya harus di bawa ke RSUD Abepura. Ambulans pun melaju kencang menuju RSUD Abepura.
Di sana petugas juga menolak, bahkan Abraham dan suami Irene sampai baku ribut dengan petugas.
Mereka memohon untuk menyelamatkan nyawa bayi, nyawa dari anak perempuan, istri, dan ibu dari dua orang anak yang sedang menunggu di rumah.
"Kami cari jalan ke RSUD Abepura tetapi tidak diterima juga. Kami ribut disitu tetapi petugas juga malas tahu, akhirnya kami pikir untuk ke Rumah Sakit Dok II [RSUD Jayapura] tetapi dalam perjalanan kami belok ke Rumah Sakit Bhayangkara," ujarnya.
"Bidan didalam mobil ambulans pun hanya bisa menangis, karena melihat kami ribut."
Setiba di Rumah Sakit Bhayangkara, keluarga melapor ke kasir, menceritakan kondisi anak mantunya.
Irene, masih tetap berada di dalam mobil ambulans.
Petugas di situ mengatakan, pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan Kelas 3, ruangannya sudah penuh yang terisisa hanya ruangan VIP.
Abraham mengaku, petugas bilang jumlah biaya perawatan di ruang VIP sebesar Rp 10 juta.
Mereka meminta keluarga membayar Rp 4 juta terlebih dahulu sebagai uang muka sebelum masuk ruangan.
Karena keluarga tidak menyiapkan biaya dalam jumlah itu, Abraham pun meminta agar dapat menyelamatkan nyawa Irene dan bayinya terlebih dahulu. Abraham berusaha meyakinkan petugas akan membayar biaya rumah sakit keesokan harinya.
"Kami bilang tolong dulu, uang nanti kami urus, kami tidak lari."
Abraham mengatakan, petugas sempat memeriksa kondisi perut Irene di dalam ambulans. "Mereka tidak menurunkan pasien dari ambulans untuk diperiksa," tangisnya.
Baca juga: Usut Kematian Ibu Hamil Irene Sokoy, PMKRI Jayapura Desak Pemerintah Tindak Tegas Rumah Sakit
Akhirnya, keluarga memutuskan untuk membawa Irene ke RSUD Jayapura. Dalam perjalanan turunan Skyline menuju ke Entrop sekira pukul 4.00 WIT, Abraham menyaksikan Irene menghembuskan nafas terakhirnya.
Mereka pun memutuskan kembali ke Irene ke Rumah Sakit Bhayangkara. Di sana keluarga menerima surat kematian Irene. Lalu memutuskan kembali ke RSUD Yowari.
"Di Yowari saya cari perawat, masyarakat sudah ribut karena 'mati' ditangan pelayanan, saya rasa terpukul," kata Abraham menunduk sambil berlinang air mata.
"Tuhan kenapa kah?," tanya Abraham.
"Ditolak-tolak dari rumah sakit ke rumah sakit kami lewati, berakhir dengan kematian."
Ketegangan terjadi antar Keluarga
Abraham yang juga menjabat sebagai Kepala Kampung Hobong mengatakan, meninggalnya almarhumah menimbulkan ketegangan antar keluarga perempuan dan laki-laki. Keluarga laki-laki dicurigai tidak bertanggung jawab hingga almarhumah meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya.
"Kami harap rumah sakit menolong kami karena menambah jiwa dalam keluarga ini, kami keluarga sangat senang sekali, sejak mengandung kami rawat dia, dalam pergumulan doa Tuhan berikan generasi yang sehat, ternyata mati ditangan medis," kata Abraham.
Suami almarhumah, Neil Kastro Kabey mengatakan saat ini terjadi kerenggangan antar kedua keluarga. Namun, secara pribadi Neil ingin agar masalah ini dibawah ke ranah hukum.
"Saya pribadi ingin ambil langkah hukum, tapi nanti setelah kami keluarga besar duduk bicara," ujarnya.
Neil menjelaskan, dari RSUD Yowari, keluarga lalu membawa pulang jenazah almarhumah ke Kampung Hobong. Jenazah disemayamkan pada Rabu (19/11/2025).
Medis Itu Tangan Tuhan
Abraham berharap dari kejadian ini, tidak ada 'Irene' terjadi di keluarga-keluarga lain di Papua. Menurutnya, ada dua pekerjaan paling mulia di dunia yakni medis dan hamba Tuhan.
"Ke depan mereka [medis] harus menyadari bahwa pekerjaan ini merupakan kemuliaan Tuhan yang diberikan untuk [dikerjakan] dengan bertanggung jawab," ujarnya.
Ia juga menyebut kepala kampung, distrik, pemerintah daerah, anggota dewan, memastikan agar ruangan di rumah sakit ada dokter dan tenaga medis lainnya.
"Jangan tinggalkan ruangan tidak ada dokter. Pimpinan di Tanah Papua jangan sampai masyarakat mengalami yang kami alami," katanya sambil menundukkan kepala.
Klarfikasi Rumah Sakit Bhayangkara
Kepala Rumah Sakit Bhayangkara AKBP Rommy Sebastian, lewat panggilan telepon, menjelaskan pasien datang ke rumah sakit tanpa melalui sistem Aplikasi Sistem Rujukan Terintegrasi.
Rommy menanyakan kenapa RSUD Yowari tidak memakai sistem rujukan terpadu yang sudah diwajibkan jika akan merujuk pasiennya.
Menurutnya pasien langsung dirujuk beresiko karena rumah sakit rujukannya tidak mengetahui pasti keadaan pasien, mengonsumsi obat apa saja, diagnosanya seperti apa, sudah dapat perawatan apa, tetapi ini tidak dilakukan oleh RSUD Yowari.
Setelah ditolak di Rumah Sakit Dian Harapan dan RSUD Abepura, langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhyangkara.
"Hanya kami yang memeriksa Tanda-Tanda Vital (TTV) pasien, pada saat keluarga mendaftar," ujarnya.
Rommy menjelaskan pasien merupakan anggota Penerima Bantuan Iuaran (PBI) Kelas 3, dimana peraturan BPJS Kesehatan tertulis bahwa pasien PBI Kelas 3 tidak dapat naik kelas. Petugas kemudian melakukan edukasi peraturan, apabila pasien dirawat maka masuk dalam aturan pasien umum.
"Apakah kalau kami mematuhi peraturan dari pemerintah kami salah?" tanyanya.
"Sekarang siapa yang mau disalahkan, Bhyangkara kah," ujarnya.
Rommy membatah rumah sakit meminta biaya perawatan kepada keluarga pasien.
"Kami tidak pernah bicara ke pasien kalau mau dioperasi bayar Rp 3 juta, kalau mau dioperasi bayar Rp 4 juta, yang kami lakukan adalah mengedukasi karena PBI kamarnya penuh tidak bisa pindah kelas, karena itu peraturan pemerintah, ini bisanya pasien umum. SOP sudah kami laksanakan," jelasnya.
Tetapi, kata Rommy, pada akhirnya suami pasien memutuskan membawa pasien ke RSUD Jayapura. Rommy menegaskan bahwa rumah sebagai rumah sakit Polri tidak pernah meminta uang kepada pasien.
"Kenapa Dinas Kesehatan menyalahkan kami, Yowari menyalahkan kami, menolak pasien dan meminta uang sebelum melakukan tindakan. Ini perlu diluruskan kami tidak mungkin melakukan itu. Kalau memang pasien dalam kondisi darurat, kenapa pasien tidak bisa dilayani dengan cepat dari Yowari," ujarnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papua/foto/bank/originals/DARURAT-KESEHATAN-DI-PAPUA-Abraham-Kabey-berfoto-bersama-kedua-anak-Irene-Sokoy-dan-Niel-Kabey.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.